Gelombang kebangkrutan dunia usaha menerjang Jepang. Perusahaan riset kredit, Tokyo Shoko Research mencatat jumlah perusahaan di Jepang yang bangkrut melonjak 42,9% dari tahun sebelumnya.
Mengutip dari The Japan Times, Rabu (12/6/2024) tercatat ada 1.009 perusahaan di negara tersebut yang gulung tikar pada bulan Mei. Jumlah tersebut melampaui angka 1.000 per bulan untuk pertama kalinya sejak Juli 2013. Saat itu, perusahaan yang mengalami kebangkrutan akibat berakhirnya langkah-langkah dukungan pendanaan untuk usaha kecil yang diperkenalkan setelah krisis keuangan global tahun 2008.
Jumlah perusahaan yang bangkrut terbaru ini muncul lantaran banyak perusahaan berjuang menghadapi kenaikan harga serta kekurangan tenaga kerja terutama di sektor jasa. Data tersebut mencakup kebangkrutan yang melibatkan kewajiban sebesar ÂĨ10 juta atau lebih dari Rp 1 miliar (dengan kurs Rp 103,59 per yen Jepang).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, total utang yang wajib dilunasi oleh perusahaan-perusahaan yang bangkrut turun 50,9% menjadi ÂĨ137 miliar atau Rp 14,19 triliun setelah angka tahun sebelumnya terdorong oleh bangkrutnya sebuah perusahaan besar.
Sementara, jumlah perusahaan yang bangkrut imbas kenaikan harga meningkat 47,4% menjadi 87 perusahaan. Di mana sebagian besar terjadi pada industri manufaktur dan transportasi yang memiliki banyak subkontraktor.
Selain itu, banyak juga bisnis kecil yang merasa kesulitan untuk membebankan biaya yang lebih tinggi pada harga.
Untuk perusahaan yang bangkrut karena menggunakan program pinjaman tanpa bunga dan agunan meningkat sebesar 15,5% menjadi 67 perusahaan.
Apabila dilihat dari industri, jumlah kebangkrutan bulanan mencapai rekor tertinggi yaitu 327 kasus di sektor jasa. Kebangkrutan meningkat terutama di kalangan operator restoran lantaran kekurangan tenaga kerja dan kenaikan biaya tenaga kerja.
Tokyo Shoko Research memperingatkan bahwa jumlah kebangkrutan terkait inflasi kemungkinan akan meningkat lebih lanjut. Pasalnya, banyak perusahaan tidak mampu sepenuhnya menanggung biaya karena harga yang lebih tinggi di tengah melemahnya yen terhadap dolar.
Simak juga Video: Jepang-Australia Jadi Favorit Pekerja Indonesia Berkarier di Luar Negeri