YLKI Minta Sri Mulyani Terapkan Cukai Plastik & Minuman Berpemanis Tahun Ini

YLKI Minta Sri Mulyani Terapkan Cukai Plastik & Minuman Berpemanis Tahun Ini

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 14 Jun 2024 09:52 WIB
minuman bersoda
Ilustrasi/Foto: Istimewa
Jakarta -

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Kementerian Keuangan yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerapkan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun ini. Hal ini dinilai sejalan dengan urgensi masalah lingkungan dan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Rencana penerapan cukai plastik dan MBDK tahun ini memang belum menemukan titik terang. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyebut pihaknya membuka ruang agar pelaksanaannya dilakukan di 2025 jika 2024 belum bisa dilaksanakan.

"Dengan ini menyatakan keprihatinan dan mempertanyakan keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. YLKI menilai bahwa penundaan dari tahun 2020 sampai 2023 ini tidak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan dan lingkungan yang dihadapi bangsa kita saat ini," kata Plt Ketua Harian YLKI Indah Suksmaningsih dalam keterangan tertulis, Jumat (14/6/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada Februari 2020, Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa potensi penerimaan dari cukai minuman berpemanis bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Angka ini tidak hanya signifikan dalam mendukung penerimaan negara, tetapi juga sebagai langkah nyata untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang merugikan dan membahayakan kesehatan.

Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan prevalensi diabetes pada usia 15 tahun ke atas meningkat 11% dari sebelumya 10.9% (Riskesdas, 2018). Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan.

ADVERTISEMENT

"Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan, anak-anak sebagai modal utama dalam mencapai Generasi Emas 2045 terancam terganggu kesehatannya, yang merupakan dampak langsung dari konsumsi minuman berpemanis yang tinggi," ucapnya.

"Kami menekankan bahwa cukai terhadap MBDK seharusnya tidak lagi menjadi wacana, tetapi harus segera diimplementasikan demi melindungi generasi muda dari risiko penyakit yang serius," tambahnya.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan YLKI di 10 kota di Indonesia, sebanyak 25,9% anak berusia kurang dari 17 tahun disebut mengonsumsi MBDK setiap hari dan sebanyak 31,6% mengonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Anak-anak adalah konsumen yang rentan dan sering menjadi target utama pemasaran produk minuman berpemanis.

"Penundaan kebijakan cukai ini berarti anak-anak kita akan terus terpapar pada produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka. Saat ini, prevalensi diabetes dan obesitas pada anak-anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tegas, mereka akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan yang lambat diterapkan," imbuhnya.

YLKI mempertanyakan mengapa pemerintah terus menunda kebijakan yang jelas-jelas memberikan manfaat kesehatan dan ekonomi. YLKI menduga kuat bahwa penundaan ini tidak terlepas adanya intervensi dari industri MBDK, yg sejak awal memang menolak penerapan tersebut.

"Kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan dan merealisasikan kebijakan ini tanpa menunggu hingga tahun 2025. Kesehatan anak-anak kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Penundaan kebijakan ini hanya akan memperburuk kualitas generasi mendatang dan tentunya akan menunda capaian Generasi Emas 2045," imbuhnya.

(aid/ara)

Hide Ads