Aturan cuti melahirkan maksimal 6 bulan bagi pekerja perempuan yang menjadi seorang ibu menimbulkan polemik antara pihak buruh dan pengusaha. Aturan cuti melahirkan 6 bulan sendiri tercantum dalam UU nomor 4 tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Undang-undang itu diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Juli 2024.
Dalam beleid tersebut pada pasal 4 ayat 3 huruf a, disebutkan seorang ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti maksimal 6 bulan bila mengandung dan melahirkan anak. Disebutkan cuti hamil paling singkat adalah 3 bulan, sementara itu 3 bulan tambahannya diberikan apabila terdapat kondisi khusus yang terjadi pada ibu atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
"Cuti melahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib diberikan oleh pemberi kerja," tulis pasal 4 ayat 4.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cuti tambahan 3 bulan yang dimaksud dapat diberikan bila ibu mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, komplikasi pasca persalinan, atau keguguran. Ataupun anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan atau komplikasi lainnya.
Seorang ibu yang mengandung dan mengalami masalah seperti keguguran juga berhak diberikan waktu istirahat selama satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan.
Kebijakan ini memicu polemik antara buruh dan pengusaha. Satu pihak menuntut hak mengurus anak yang manusiawi, pihak lainnya bicara soal produktivitas yang kendor dengan adanya cuti panjang ini. Berikut ulasannya:
Produktivitas Bisa Anjlok
Dari sisi kalangan pengusaha, semua pihak sepakat aturan cuti hingga 6 bulan ini dapat menurunkan produktivitas perusahaan. Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawardana mengatakan jangka waktu cuti yang terlalu panjang akan menyulitkan pengusaha.
Pasalnya, mempersiapkan pengganti seorang pekerja yang cuti panjang tidak mudah. Hal ini akan menimbulkan masalah produktivitas usaha yang menurun.
"Jangka waktu cuti yang panjang itu tentu menyulitkan pengusaha. Karena kami harus mempersiapkan pengganti selama cuti panjang, dan ini menimbulkan masalah-masalah produktivitas," beber Danang kepada detikcom, Minggu (7/7/2024).
Dia juga mengatakan kerugian akan diterima seorang pekerja bila menjalankan cuti yang terlalu lama waktunya. Bisa saja, seorang karyawan tidak mendapatkan insentif atau bonus yang nilainya cukup besar daripada gajinya bila harus cuti berkepanjangan.
"Kami yakin, bahwa pekerja juga merasa kurang nyaman dan kurang safety kalau cuti terlalu lama. Kalau cuti, pekerja tidak mendapatkan bonus atau insentif yang kadang juga nilainya signifikan untuk take home pay mereka," sebut Danang.
Sementara itu, Ketua Umum KADIN Daerah Khusus Jakarta Diana Dewi menyatakan pihaknya menolak kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini. Menurutnya, di dunia kerja seseorang baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk profesional dan memiliki produktivitas tinggi. Bila cuti terlalu lama diizinkan, hal ini dapat mengurangi produktivitas pekerja itu sendiri.
Dia menyarankan utusan cuti melahirkan lebih baik diserahkan kepada masing-masing perusahaan. Menurutnya, setiap perusahaan pasti akan mempertimbangkan kondisi pekerjanya juga. Tidak serta-merta melarang pekerja perempuan yang melahirkan untuk melakukan cuti.
"Baiknya, persoalan seperti itu diserahkan kepada masing-masing perusahaan saja. Mekanismenya bisa dibahas secara internal dan disesuaikan dengan kebutuhan dan para pihak yang sama-sama punya kepentingan. Saya yakin, masing-masing perusahaan akan punya pertimbangan bijak terkait hal tersebut," beber Diana kepada detikcom.
Berbanding terbalik, serikat buruh justru ingin agar kebijakan ini benar-benar dilakukan tanpa perlu banyak alasan dari pengusaha. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat yang juga merupakan seorang perempuan mengatakan kebijakan ini akan memberikan kepastian hak bagi pekerja perempuan yang butuh waktu untuk mengurus anaknya yang baru lahir.
Dia menegaskan kebijakan ini tidak akan merugikan pengusaha karena menurunkan produktivitas kerja. Menurutnya, di berbagai negara kebijakan ini sudah diterapkan. Bahkan selama ini belum ada kabar bahwa produktivitas perusahaan turun di negara-negara tersebut karena memberikan cuti panjang bagi karyawan yang melahirkan.
"Mereka (pengusaha) mungkin akan berpikir ini akan merugikan dan menambah beban ongkos produksi bagi pelaku usaha, tapi saya yakinkan bahwa di negara Eropa bahkan Asia saja, itu malah tingkatkan produktivitas perusahaannya malah cukup tinggi dan berpengaruh kepada laba dan keuntungan perusahaan itu sendiri," beber Mirah ketika dihubungi detikcom.
Menurutnya praktik semacam ini di beberapa negara Asia juga sudah banyak dilakukan. Bahkan, jumlah waktu cutinya jauh lebih panjang hingga ada yang 6 sampai 9 bulan.
"Seperti Vietnam dan Jepang itu yang sudah memberlakukan hak cuti lebih daripada 4 bulan, 6 bulan, bahkan 9 bulan, suaminya pun ikut cuti. Tak perlu khawatir ada tambahan ongkos produksi atau menurunkan produktivitas gitu ya, tidak akan lah," tegas Mirah.
Lapangan Kerja Perempuan Berkurang
Satu hal yang dikhawatirkan Mirah adalah dengan adanya aturan ini kesempatan kerja untuk perempuan akan berkurang. Pasalnya, perusahaan pasti akan 'mengakali' aturan cuti ini dengan membuat persyaratan yang ketat untuk menerima pegawai perempuan.
Persyaratan ketat itu digunakan untuk menghindari hak cuti melahirkan, misalnya saja syarat pekerja harus tetap lajang dan tidak boleh menikah.
"Sebelum undang-undang ini saja syarat pekerja perempuan menurut saya sudah diperketat. Mungkin akan ada pengusaha yang memperketat syarat kerjanya untuk perempuan. Misalnya lajang, berpenampilan menarik, dan lain-lain," ungkap Mirah.
Menurutnya hal ini bisa terjadi karena pengusaha belum memiliki edukasi mendalam soal betapa pentingnya cuti kehamilan yang berada di dalam UU no 4 tahun 2024. Dia meminta agar pemerintah juga bertindak memberi tahu pengusaha agar tidak serta merta membatasi kesempatan kerja untuk perempuan setelah adanya aturan cuti melahirkan maksimal 6 bulan.
"Ini bisa terjadi mungkin karena pengusaha belum memilih edukasi terkait betapa pentingnya UU Ibu dan Anak. Kita mau meminimalisir itu, maka pemerintah wajib berikan edukasi ke pelaku usaha juga soal UU ini," beber Mirah.
Pengusaha pun mengakui akan melakukan hal itu. Suka tidak suka, kemungkinan perusahaan akan lebih selektif menerima karyawan perempuan.
Kembali ke Danang Girindrawardana, Dia bilang pengusaha secara alami akan makin selektif memilih pekerja perempuan, dia bilang pengusaha cukup berat untuk mempertaruhkan produktivitas kinerja usahanya.
"Apakah pengusaha akan makin selektif memilih pekerja perempuan? Ya tentu saja, secara alami perusahaan tidak akan mempertaruhkan produktivitasnya," kata Danang.
Danang mengatakan akan timbul perilaku pilih-pilih atau menggunakan mekanisme perjanjian kerja yang saling menguntungkan bagi perusahaan dan pekerja perempuan setelah adanya aturan cuti panjang melahirkan maksimal 6 bulan.
"Pada intinya, juga banyak yg sudah melakukan hal itu di perusahaan jasa, misalnya flight attendance atau teller bank, dan banyak lagi yang memiliki ciri pekerjaan khas dilakukan perempuan," beber Danang.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menambahkan, secara umum pengusaha memang merespons aturan ini dengan pengetatan rekrutmen untuk pegawai perempuan.
Dia bilang kemungkinan saat ini perusahaan akan lebih memilih merekrut pegawai laki-laki. Kalaupun ada pegawai wanita, kemungkinan hanya akan diberikan kontrak saja tidak jadi karyawan tetap. Bila pegawai itu menikah dan punya anak, saat hamil kemungkinan kontraknya berakhir.
"Respons rekan-rekan pengusaha terhadap UU KIA sebagai berikut, satu lebih memilih (merekrut) pegawai laki-laki. Kemudian hanya akan memberikan kontrak bagi yang belum punya anak sehingga kalau hamil ya sudah, kontrak berakhir otomatis," ujar Hariyadi.
Bila memang ada karyawan perempuan yang perlu dipertahankan, kemungkinan perusahaan akan mencari wanita yang tidak mau punya anak lagi.
Menurutnya, bila ada karyawan perempuan yang mendapat cuti melahirkan hingga 6 bulan, tidak ada kepastian jabatannya akan tetap setelah kembali masuk kerja.
"Posisinya kan akan digantikan oleh orang lain karena tidak mungkin perusahaan menunggu sampai 6 bulan, jadi kemungkinan dia masuk sudah tidak ada bangku lagi," lanjut Hariyadi.
Simak juga Video 'Respons Masyarakat soal Ibu Pekerja Bisa Cuti Melahirkan 6 Bulan':