Pedagang mainan di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, hanya bisa pasrah dengan kondisi sepi pembeli sejak pandemi Covid-19 kemarin hingga kini. Bahkan tidak sedikit pedagang yang harus gulung tikar.
Salah seorang pedagang mainan di Pasar Gembrong Baru, Rifka, mengatakan kondisi sepi pembeli mulai terjadi saat sebagian pedang Pasar Gembrong direlokasi ke tempat baru yang tidak jauh dari sana karena proyek jalan tol.
Sebab saat relokasi berlangsung, pandemi Covid-19 menghantam RI sehingga banyak tempat-tempat umum termasuk pasar harus tutup. Kondisi ini membuat para pedagang yang baru pindah ke tempat baru kehilangan banyak pelanggan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Emang dari dulu sepi, kan pedagang di sini baru pada pindah pas banget tuh di tahun yang sama dengan pandemi. Kan waktu itu orang pada nggak boleh keluar," katanya saat ditemui detikcom di lokasi, Selasa (9/7/2024).
Rifka mengatakan hantaman bertubi-tubi ini (relokasi bersamaan dengan pandemi) membuat banyak pedagang tidak sanggup bertahan hingga gulung tikar. Kondisi ini terlihat dari banyaknya toko yang tutup di area pasar, khsusunya toko-toko yang berada di area belakang.
"Dulu pas baru pindah masih lumayan banyak pedagangnya, karena kan masih ada modal sama barang dagangan dari pasar sebelumnya (sebelum direlokasi). Cuma kan pas pandemi pasar sering ditutup tuh, jadi banyak yang nggak kuat juga," ucapnya.
"Kaya toko-toko di belakang tuh banyak yang tutup, itu emang nggak buka, nggak ada yang sewa. Terus kaya di samping nih (sembari menunjuk toko di sebelahnya yang tutup), itu baru ganti pemiliknya, soalnya yang lama nggak kuat. Itu juga dia jarang buka," jelas Rifka lagi.
Bahkan ia juga sempat berpikir untuk pindah lokasi. Namun hal ini diurungkan karena tidak adanya jaminan kalau pindah tempat akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
"Kalau bisa pindah sih kita pindah, saya rasa toko-toko yang lain juga banyak yang merasa begitu. Cuma kan nggak tau juga kita pas pindah bakal gimana. Cari kerjaan lain saya juga bisanya apa? Kan dari dulu cuma jualan mainan saja. Ibaratnya dulu kita pernah ngerasain nikmatnya (jualan laris), sekarang selama masih bisa bertahan ya dijalanin saja," ungkapnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh pedagang alat tulis dan perlengkapan sekolah lainnya yang berjualan di Pasar Gembrong Baru. Ia mengatakan banyak toko khususnya di area belakang pasar memang kosong tidak ada penjual.
Sedangkan beberapa toko lain ada yang memang belum buka, baik karena pemiliknya belum datang ataupun memang sedang tidak berjualan. Satu dua toko lain juga hanya digunakan sebagai gudang alias tempat menaruh barang saja.
"Ada (toko tutup) yang memang nggak ada yang jual, ada juga yang memang belum buka. Tapi ya kondisi pasar memang sepi kaya gini," ungkap seorang pedagang yang tidak ingin menyebutkan namanya.
Sedangkan untuk pedagang Pasar Gembrong lama yang tidak terkena relokasi, banyak di antara mereka memang ikut merasakan sepinya pembeli akibat pandemi. Namun kondisi mereka tidak separah pedagang Pasar Gembrong Baru.
Sebab sebagian besar barang dagangan mereka merupakan mainan yang cukup besar, sehingga bisa dijajakan secara online untuk menutupi pengeluaran sehari-hari. Sedangkan pedagang di pasar yang baru rata-rata hanya menjual mainan yang kecil-kecil untuk dijajakan kembali oleh para pedagang keliling yang biasa mangkal di depan-depan sekolah.
"Sama di sini pas pandemi sepi juga, dulu malah pas jualan sering lewat kan Satpol PP suruh toko di tutup. Nah pas itu online lumayan tuh, buat nutup-nutupin jualan yang sepi," ucap salah seorang pedagang Pasar Gembrong Lama, Tria.
Meski saat ini kondisi mulai membaik, namum para pedagang mainan di Pasar Gembrong Baru ataupun lama masih belum pulih sepenuhnya. Kondisi ini terlihat dari omzet pendapatan sehari-hari mereka yang masih landai, terutama jika dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Di mana untuk Rifka, ia bisa mendapat omzet hingga Rp 1 juta sehari. Sedangkan kini hanya di kisaran Rp 200-300 ribu saat normal, dan hanya sekitar Rp 100 ribu saat pasar sedang sepi. Sementara Tria bisa mendapat omzet hingga Rp 3 juta sehari sebelum pandemi. Namun kini hanya berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta saat ramai pembeli.
(fdl/fdl)