Trumpflation menjadi satu istilah yang sering dibahas beberapa waktu belakangan, seiring dengan gelaran kontestasi politik Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024. Istilah tersebut merujuk kepada salah satu Calon Presiden AS, Donald Trump.
Apa itu Trumpflation?
Dikutip dari Investopedia, Sabtu (27/7/2024), Trumpflation adalah istilah yang merujuk pada kekhawatiran bahwa inflasi akan meningkat selama masa jabatan Donald Trump.
Istilah ini digunakan oleh para ekonom dan komentator dalam pernyataan di sejumlah media pada bulan-bulan sebelum dan sesudah pemilihan Trump pada bulan November 2016 silam. Kala itu, komentator pasar berspekulasi bahwa kebijakan yang diusulkannya dapat menyebabkan tingkat inflasi yang lebih tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu kebijakan yang dikutip adalah usulan untuk membelanjakan US$ 1,5 triliun untuk proyek infrastruktur selama periode 10 tahun. Namun, mengingat kebuntuan legislatif di Washington, dan kurangnya usulan dari pemerintah, kebijakan tersebut tidak pernah diberlakukan.
Spekulasi atas potensi inflasi juga didorong oleh janji kampanye Trump untuk mengurangi atau menghilangkan utang nasional AS, yang jumlahnya hampir US$ 20 triliun sebelum pemilihan Trump.Hal ini memunculkan spekulasi bahwa pemerintahan Trump berusaha menggelembungkan utang nasional atau memberlakukan langkah-langkah pemotongan biaya yang agresif untuk mengurangi defisit.
Kebijakan lain yang menyebabkan kekhawatiran atas potensi inflasi Trump ialah potensi pertumbuhan pendapatan setelah pajak karena pemotongan pajak yang direncanakan, potensi pertumbuhan upah domestik karena pembatasan imigrasi, serta potensi kenaikan harga konsumen karena tarif baru dan tindakan proteksionis lainnya.
Spekulasi seputar inflasi Trump juga tercermin di pasar keuangan itu sendiri. Di pagi hari setelah kemenangan pemilihan Trump pada 2016 silam, pasar mulai menunjukkan sinyal bahwa inflasi yang lebih tinggi mungkin akan segera terjadi.
Bank of America Merrill Lynch (BAML) melaporkan hari itu bahwa arus masuk delapan minggu yang bergulir ke Treasury Inflation-Protected Securities (TIPS) telah mencapai rekor tertinggi. Demikian pula, imbal hasil Treasury sepuluh tahun naik 30 basis poin antara 8 November dan 10 November. Hasilnya, kurva imbal hasil yang lebih curam, memicu kekhawatiran atas inflasi di masa mendatang.
Meskipun banyak spekulasi awal bermunculan tentang potensi lonjakan inflasi di era kepemimpinan Trump, tingkat inflasi tahunan rata-rata selama masa jabatan Trump 2017-2021 terbilang rendah, berkisar di angka 1,9%.
Muncul Lagi di Pilpres 2024
Istilah Trumpflation pun kembali muncul di Pilpres AS 2024. Hal ini disinggung beberapa investor terkemuka memandang potensi inflasi di masa mendatang bila Trump terpilih, berkaca dari arah kebijakannya.
Melansir Yahoo Finance, kebijakan tersebut antara lain pertama, mengenakan tarif sebesar 10% untuk semua impor dan tarif sebesar 60% untuk impor dari China. Peterson Institute for International Economics memproyeksikan, hal ini akan menaikkan pengeluaran rumah tangga hingga US$ 1.700 atau sekitar Rp 27,7 juta per tahun (kurs Rp 16.300).
Selain itu, Trump juga berencana agar Gedung Putih memiliki kontrol lebih besar atas bank sentral AS, Federal Reserve. Kondisi ini mendatangkan prospek yang akan mengkhawatirkan pasar keuangan jika itu benar-benar terjadi.
The Fed memiliki pekerjaan yang cukup berat karena berusaha menjaga inflasi dan lapangan kerja pada tingkat optimal. Campur tangan politik dari Gedung Putih dipandang dapat membuat hal itu jauh lebih sulit.
Lebih lanjut, Trump juga ingin memperpanjang serangkaian program pemotongan pajak. Program ini telah berjalan dari tahun 2017 dan akan berakhir pada akhir tahun 2025. Langkah perpanjangan ini berpotensi meningkatkan utang nasional sebesar US$ 4 triliun s.d US$ 5 triliun.
"Kebijakan yang diadopsi di bawah skenario Republican Sweep mengakibatkan inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah," tulis Moody's Analytics.
(shc/fdl)