Trumpflation Ramai Lagi Jelang Pilpres AS 2024, RI Bisa Kena Getahnya?

Trumpflation Ramai Lagi Jelang Pilpres AS 2024, RI Bisa Kena Getahnya?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Minggu, 28 Jul 2024 08:57 WIB
Donald Trump melanjutkan kampanyenya di West Palm Beach, Florida. Dalam kesempatan tersebut Trump memastikan telinganya sudah pulih setelah tertembak.
Donald Trump - Foto: Reuters
Jakarta -

Istilah Trumpflation kembali ramai diperbincangkan publik menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024. Banyak yang berpandangan, sejumlah kebijakan Trump apabila terpilih nantinya bisa memicu lonjakan terhadap inflasi AS.

Dikutip dari Investopedia, Sabtu (27/7/2024), Trumpflation adalah istilah yang merujuk pada kekhawatiran bahwa inflasi akan meningkat selama masa jabatan Donald Trump. Istilah ini digunakan oleh para ekonom dalam pernyataan di sejumlah media tatkala pemilihan Trump pada November 2016 silam.

Secara keseluruhan, rata-rata tingkat inflasi saat Donald Trump menjadi presiden adalah 1,9%, jauh lebih rendah dari masa kepemimpinan Joe Biden dengan rata-rata 5,4%. Meski demikian, beberapa investor terkemuka memandang potensi inflasi di masa mendatang akan lebih buruk apabila Trump menang dalam pemilihan kali ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melansir Yahoo Finance, kebijakan tersebut antara lain pertama, mengenakan tarif sebesar 10% untuk semua impor dan tarif sebesar 60% untuk impor dari China. Peterson Institute for International Economics memproyeksikan, hal ini akan menaikkan pengeluaran rumah tangga hingga US$ 1.700 atau sekitar Rp 27,7 juta per tahun (kurs Rp 16.300).

Selain itu, Trump juga berencana agar Gedung Putih memiliki kontrol lebih besar atas bank sentral AS, Federal Reserve. Kondisi ini mendatangkan prospek yang akan mengkhawatirkan pasar keuangan jika itu benar-benar terjadi.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, Trump juga ingin memperpanjang serangkaian program pemotongan pajak yang telah berjalan dari tahun 2017 dan akan berakhir pada akhir tahun 2025. Langkah perpanjangan ini berpotensi meningkatkan utang nasional sebesar US$ 4 triliun s.d US$ 5 triliun.

Dampaknya terhadap Indonesia

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, Trumpflation setidaknya menimbulkan empat risiko bagi Indonesia. Kebijakan proteksionisme AS terhadap produk asal China akan menciptakan gangguan pada kinerja ekspor Indonesia.

"Apalagi porsi ekspor Indonesia ke China menembus 23% dari total ekspor non migas senilai US$29,9 miliar sepanjang Januari-juni 2024. Ekspor bahan baku industri ke China dan AS," kata Bhima, saat dihubungi detikcom, Sabtu (27/7/2024).

Kedua, risiko higher for longer dari bank sentral AS yang berarti suku bunga akan naik lebih lama untuk meredam Trumpflation. Akibatnya, di mana-mana suku bunga tinggi. Ketiga, ancaman bagi industri pengolahan yang terkait ekosistem kendaraan listrik.

Keempat, perburuan investor ke aset aman seperti emas dan dollar AS sebabkan pelemahan rupiah. Imbasnya ke imported inflation atau barang retail di Indonesia jadi lebih mahal karena pelemahan kurs rupiah.

"Risiko Trumpflation probabilitasnya cukup tinggi melihat arah kebijakan Trump yang agresif soal pemangkasan pajak, menghambat transisi ke kendaraan listrik, dan gelombang proteksionisme produk China. Kalau kita cermati waktu Trump menjabat presiden yang lalu, sebagian besar janji kampanye langsung dijalankan hari pertama menjabat," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti berpandangan, kondisi ini seharusnya bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengambil keuntungan. Namun dalam hal ini, produk Indonesia harus bisa bersaing tinggi.

"Artinya menciptakan produk yang bisa mensubstitusi produk China dengan kualitas yang lebih baik dan harga lebih murah sehingga produk China dihambat masuk AS maka produk Indonesia bisa masuk ke AS," kata Esther, dihubungi terpisah.

Berkaca pada saat Trump menjabat sebagai Presiden AS 2017-2021, perang dagang terjadi antara AS dengan China. Namun pada kala itu, saat produk China dihambat, namun yang menggantikannya ialah produk Vietnam. "Tapi yang menggantikan produk Vietnam. Produk China masuk ke Vietnam dan diekspor dari Vietnam ke AS karena Vietnam sudah punya perjanjian dagang dengan AS," ujar dia.

(kil/kil)

Hide Ads