Satu Dekade UU Desa: Mengapa BUMDES Masih Jalan di Tempat?

Kolom

Satu Dekade UU Desa: Mengapa BUMDES Masih Jalan di Tempat?

Desti Fitriani - detikFinance
Selasa, 06 Agu 2024 08:34 WIB
Foto udara lokasi wisata Waburi Park di Kecamatan Lapandewa, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/3/2024). Objek wisata yang dikelolah dengan menggunakan dana desa tersebut banyak dikunjungi wisatawan baik dalam maupun luar negeri karena menyajikan panorama pantai yang dapat dinikmati dari ketinggian puluhan meter. ANTARA FOTO/Jojon/YU
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

Sudah 10 tahun Undang-undang (UU) Desa diberlakukan, namun misi untuk mewujudkan desa yang mandiri, masih jauh panggang dari api. Ada empat lubang permasalahan yang harus ditambal segera.

Pada 2 Agustus 2024 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan tanggal 15 Januari sebagai Hari Desa melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 23 Tahun 2014. Tanggal 15 Agustus ini merupakan hari diundangkannya Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2004 sebagai landasan hukum untuk otonomi penuh kepada desa dalam menjalankan pemerintahan, pengelolaan dan pemberdayaan seluruh potensi, agar desa-desa di Indonesia menjadi mandiri, lebih sejahtera, dan mengurangi ketimpangan ekonomi antara desa dan kota.

Harapan serupa juga diamini oleh pengurus pusat APDESI yang merupakan Asosiasi Pemerintah Desa, agar masyarakat desa tidak perlu lagi berbondong-bondong mengais rezeki di kota, tapi cukup di desanya saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai amanat UU Desa, desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk mengelola seluruh potensi ekonomi desa dan melakukan pemberdayaan masyarakat di dalam kegiatan pengembangan potensi ekonomi desa. Dari tahun ke tahun, kecuali pada saat pandemi COVID-19 terjadi, BUMDES selalu menjadi salah satu prioritas penggunaan dana desa.

Sehingga peranan dana desa begitu besar sebagai sumber permodalan utama dalam BUMDES. BUMDES inilah yang diharapkan menjadi terobosan bagi Pemerintah Desa untuk mendongkrak Pendapatan Asli Desa (PADes) sehingga cita-cita desa yang mandiri dapat tercapai.

ADVERTISEMENT

Sejak 2016 hingga 2023, tak kurang dari Rp. 507 triliun dana desa digelontorkan dari pemerintah pusat. Dana desa ini merupakan sumber utama penerimaan desa dengan kontribusi sekitar 56% dari total penerimaan desa. Namun, kemampuan desa untuk menghasilkan PADes masih sangat minim.

Dalam periode 2016 hingga 2023, kontribusi PADes terhadap total penerimaan pemerintah desa hanya berkisar 2-4% saja. Ini merupakan sinyal bahwa investasi dari pemerintah pusat berupa dana desa, masih belum mampu memberikan hasil yang sepadan untuk menciptakan desa yang mandiri.

desti fitrianiSatu Dekade UU Desa: Mengapa BUMDES Masih Jalan di Tempat?

Ketimpangan ini menurut penulis disebabkan adanya 4 permasalahan utama pada BUMDES yang harus dibenahi, sebagai berikut:

1. Perbedaan Persepsi Kinerja antara Pemerintah versus Pengelola BUMDES

BUMDES secara keseluruhan belum mampu berperan sebagai agen perubahan untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat desa. Hal ini memerlukan perhatian yang lebih serius dari pemerintah selaku inisiator dan pemangku kebijakan utama dari program BUMDES.

Hasil studi yang dilakukan penulis dengan menggunakan multiple-case study dengan melibatkan 10 BUMDES di Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat menemukan adanya perbedaan tujuan dari diselenggarakannya program BUMDES menurut kacamata pemerintah dan pengelola BUMDES.

Pemerintah mempersepsikan bahwa kinerja utama yang diharapkan dari BUMDES adalah pada kinerja keuangan, seperti kontribusi BUMDES terhadap PADes, jumlah pendapatan, nilai aset yang dikelola atau laba. Ini terlihat jelas pada pemberian penghargaan dari pemerintah kepada para BUMDES terbaik yang menonjolkan capaian kinerja keuangan sebagai indikator utama dan menjadi fitur yang sangat ditonjolkan dalam berbagai pemberitaan di media massa.

Tapi sebaliknya, pengelola BUMDES mendefinisikan kinerja dengan lebih luas tidak hanya pada keuangan, melainkan pada kontribusi sosial seperti seperti jumlah warga desa yang dipekerjakan, jumlah gaji yang dibayarkan, jumlah subsidi, tunjangan dan sumbangan yang diberikan untuk mendanai kegiatan sosial, membantu warga desa miskin, hingga kinerja keberlanjutan lingkungan desa.

Kontribusi sosial ini bahkan lebih mendominasi persepsi kinerja dari para pengelola BUMDES ketimbang kinerja keuangan. Perbedaan persepsi kinerja antara pemerintah dan pengelola BUMDES menimbulkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh program BUMDES ini.

Ibaratnya, pemerintah sebagai nakhoda ingin berlayar ke utara, namun desa-desa sebagai awak kapal ingin berlayar ke selatan. Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena keberhasilan program BUMDES adalah ketika semua pihak yang terlibat mempunyai persepsi yang sama.

Lanjut ke halaman berikutnya

2. Ketidakjelasan Kinerja di Regulasi

Sebagai inisiatif nasional yang berbasis regulasi, maka kebijakan terkait BUMDES diatur dalam regulasi yang berjenjang dari pusat hingga ke daerah. PP No. 11 Tahun 2021 tentang BUMDES, Permendesa No. 4 Tahun 2015 dan Permendesa No. 3 Tahun 2021 memberikan keleluasan yang sangat besar bagi BUMDES untuk menentukan bidang usahanya, apakah yang berorientasi pada pencarian laba ataupun berorientasi pelayanan dan sosial.

Masalahnya, keleluasaan ini tidak dibarengi dengan indikator-indikator kinerja apa yang harus dicapai oleh BUMDES sesuai dengan sifat bidang usahanya masing-masing. Secara naratif, regulasi terkait BUMDES hanya menjelaskan aspek-aspek apa saja yang akan dinilai dalam pemeringkatan BUMDES secara administratif, namun tidak menegaskan apa yang menjadi indikator dan target kinerja bagi BUMDES sehingga prioritas kinerja tidak dapat ditentukan dan menyebabkan interpretasi macam-macam di kalangan pengelola BUMDES.

Oleh karena itu, harus ada pengkajian kembali untuk menyempurnakan regulasi manajemen kinerja BUMDES dengan secara lugas menuangkan apa-apa saja yang harus dicapai oleh BUMDES agar berjalan dengan efektif.

3. Metode Pemeringkatan BUMDES yang Tidak Efektif

Mekanisme pemeringkatan BUMDES yang mengandalkan metode self-assessment dengan verifikasi data hanya dari pendamping desa, memiliki kelemahan pada tidak adanya independensi dari verifikator data sehingga validitas dan akurasi data yang dimasukkan ke dalam sistem perhitungan pemeringkatan BUMDES masih dipertanyakan.

Tanpa adanya verifikator independen yang berjenjang dari tingkat desa hingga ke pemerintah pusat, hasil pemeringkatan kemungkinan besar tidak mencerminkan kondisi tingkat perkembangan BUMDES yang sesungguhnya di lapangan.

Selain itu, pengisian data untuk pemeringkatan BUMDES masih bersifat sukarela dengan tidak adanya konsekuensi maupun reward dari ketidakikutsertaan (dan keikutsertaan) BUMDES mengisi data di sistem pemeringkatan. Akibatnya tingkat partisipasi dalam data pemeringkatan BUMDES masih rendah. Padahal data ini sangat diperlukan untuk memetakan, mengevaluasi, dan merancang pendekatan-pendekatan yang tepat untuk meningkatkan performa BUMDES.

Pelibatan masyarakat untuk bersama-sama mengawasi program BUMDES, diperlukan sebagai mekanisme kontrol dan umpan balik dari program BUMDES. Oleh karena itu, sebaiknya hasil pemeringkatan BUMDES pun harus diumumkan secara berkala dan dapat diakses oleh publik. Ini juga merupakan langkah untuk meningkatkan akuntabilitas program BUMDES kepada publik.

4. Minimnya Perhatian pada Pengembangan Kapasitas Pengelola BUMDES

Temuan di lapangan dalam penelitian penulis, ternyata latar belakang mayoritas pengurus BUMDES adalah lulusan SMA atau di bawahnya. Profesi utamanya adalah petani dan nelayan yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola bisnis.

Perubahan mindset dari petani atau nelayan menjadi wirausaha, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang terukur. Mereka perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis, membuat perencanaan yang layak secara keuangan dan teknis, mengorganisir dan mengelola sumber daya yang diperlukan, dan membutuhkan suatu desain yang terstruktur dan matang agar mereka mampu mempelajari itu semua dalam target waktu yang terukur.

Sehingga, rencana pengembangan kapasitas untuk pengelola BUMDES harus dirancang dengan matang dan terstruktur.

Lanjut ke halaman berikutnya

Pengalaman penulis memberikan pelatihan pengembangan kapasitas bagi para pengurus BUMDES di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan belum adanya kurikulum yang spesifik dirancang untuk mengisi pengembangan kapasitas BUMDES berdasarkan tingkat perkembangannya masing-masing, baik itu di tingkat perintis, pemula berkembang, dan maju.

Aneka pelatihan dari dinas terkait dengan pemberdayaan desa baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, disusun berdasarkan perkiraan materi yang dirasa perlu menurut asesmen dari dinas terkait, ketersediaan instruktur yang mengajarkannya, dan seringkali tidak membedakan kebutuhan berdasarkan tingkat perkembangan BUMDES yang diundang sebagai peserta.

Selain itu, frekuensi pelatihan maupun bimbingan teknis bagi pengelola BUMDES ini juga masih jarang, belum tentu diselenggarakan setiap tahun di masing-masing daerah, karena tergantung pada ketersediaan dana di masing-masing dinas dan tak jarang menjadi prioritas terakhir. Kondisi ini tentunya tidak bisa lagi dibiarkan jika tujuannya adalah untuk menjadikan BUMDES sebagai ujung tombak dalam pembangunan ekonomi di desa.

Pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih serius pada pengembangan kapasitas pengelola BUMDES. Ini dilakukan dengan merancang kurikulum pengembangan kapasitas yang sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing BUMDES.

Kurikulum yang terstandar memudahkan pemerintah untuk mengukur, memonitor dan mengevaluasi peningkatan kompetensi yang berdampak pada kenaikan peringkat BUMDES. Inovasi pada metode penyampaian materi ajar sangat diperlukan agar tidak hanya mengandalkan metode tatap muka langsung (luring) yang jangkauannya terbatas.

Untuk itu butuh media pembelajaran daring yang dapat diakses dengan mudah dan terjangkau oleh seluruh pengelola BUMDES di seluruh pelosok Indonesia.

Untuk tujuan ini maka pemerintah perlu menggandeng para akademisi kampus untuk mengembangkan kurikulum serta model pembelajaran yang efektif dan mampu menjawab kebutuhan untuk meningkatkan performa BUMDES.

Pemerintah pusat sudah tidak bisa lagi membiarkan perangkat dinas di daerah untuk menentukan sendiri materi pengembangan kapasitas bagi BUMDES, karena kurikulum yang terstandardisasi akan memudahkan pemerintah dalam mengukur peningkatan kapasitas BUMDES. Dukungan anggaran yang memadai juga sangat penting untuk mewujudkan tujuan ini.

Kesimpulan

Kinerja BUMDES yang masih belum maksimal setelah satu dekade berlakunya UU Desa, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan persepsi kinerja antara pemerintah dan pengelola BUMDES dengan memperbaiki regulasi yang relevan, memperjelas target kinerja dalam regulasi, serta memperbaiki metode pemeringkatan BUMDES yang kurang efektif.

Selain itu, perhatian lebih harus diberikan pada pengembangan kapasitas pengelola BUMDES agar mereka dapat menjalankan tugas dengan lebih efektif. Pelibatan akademisi kampus diperlukan untuk menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan di tiap tingkat perkembangan BUMDES untuk memastikan adanya peningkatan kapasitas dari para pengelolanya.

Sehingga, BUMDES dapat berkinerja optimal dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan desa.


Desti Fitriani
Dosen Akuntansi Universitas Indonesia
Doktor bidang akuntansi dari Universiti Sains Malaysia

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: Tampang Tersangka Korupsi BUMDes Kini Berbaju Tahanan Kejari"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads