Banyak Warga Desa di Jepang Pindah ke Kota, Begini Cara biar Tak Terjadi di RI

Banyak Warga Desa di Jepang Pindah ke Kota, Begini Cara biar Tak Terjadi di RI

Muhamad Aghasy Putra Hazli - detikFinance
Rabu, 09 Okt 2024 12:17 WIB
People observe a minute of silence at noon, while waiting in queue before reaching to the main hall to pray at Yasukuni Shrine, which honors Japans war dead, in Tokyo, Japan, Thursday, Aug. 15, 2024, as the country marks the 79th anniversary of its defeat in the World War II. (AP Photo/Hiro Komae)
Foto: Ida Bagus Putu Mahendra/detikBali
Jakarta -

Sebanyak 93% warga Jepang banyak pindah ke kota atau urbanisasi, mulai dari Tokyo, Osaka, Kyoto, hingga kota megapolitan lainnya. Banyak desa-desa yang ditinggalkan meski punya potensi ekonomi yang bagus.

Demikian diungkapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang berupaya mendorong penguatan desa sebagai sentra ekonomi baru. Hal ini dinilai penting agar pemerataan pembangunan bisa terealisasi.

Dia menegaskan penguatan desa perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya urbanisasi. Pasalnya, ketika terjadi urbanisasi sebagaimana yang terjadi di negara Jepang dan Korea Selatan, maka akan menimbulkan permasalahan lain yang lebih berat seperti demografi penduduk yang tak seimbang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jepang, 93% penduduknya sudah di kota, Tokyo, Osaka, Kyoto, megapolitan. Apa yang terjadi dengan adanya urbanisasi itu? Desa-desa ditinggalkan, padahal punya potensi untuk memberikan kontribusi pembangunan," kata Tito dikutip dari Antara, Selasa (9/10/2024).

Menurutnya, desa harus dibuat menjadi sentra ekonomi yang betul-betul hidup agar terjadi pemerataan pembangunan.

ADVERTISEMENT

"Kita harus melakukan, membuat desa-desa ini menjadi sentra-sentra ekonomi yang betul-betul hidup. Jangan mengandalkan kerja kota saja. Yang kedua kita berusaha, kita menginginkan agar ada pemerataan pembangunan, jangan dinikmati orang kota saja," katanya.

Adapun penguatan desa sejalan dengan visi-misi awal yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo. Dalam pemerintahannya, Jokowi menegaskan komitmennya terkait membangun Indonesia dari pinggiran, yaitu salah satunya dengan memperkuat desa. Tito juga menyampaikan desa dan kelurahan memiliki peran yang sangat penting karena berada di garis depan pembangunan dan berhadapan langsung dengan masyarakat.

"Bukan bupati, bukan wali kota, bukan gubernur, bukan Menteri Dalam Negeri, tapi kepala desa dan lurah yang berhadapan langsung dengan masyarakat, di garis depan yang bertemu langsung, dan mengetahui persoalan," jelas Tito.

Dia menambahkan pemerintah juga telah membuat berbagai macam program untuk membangun desa. Hal ini dibuktikan dengan dibuatnya regulasi atau Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa. Melalui regulasi ini, desa bukan lagi sekadar kumpulan komunitas biasa, tetapi menjadi bagian dari sistem pemerintahan.

"Yang kedua, dibuat kelembagaan desa dan daerah tertinggal. Dan yang ketiga, yang paling penting sekali, adalah adanya anggaran desa," tegasnya.

Dengan berbagai dukungan yang diberikan oleh pemerintah tersebut, dirinya berharap desa tidak hanya menjadi sentra ekonomi baru. Namun, desa juga mampu menciptakan lapangan kerja, berkontribusi dalam pembangunan, dan mendukung visi Indonesia Emas 2045.

Untuk mewujudkannya, kepala desa perlu memiliki kemampuan, termasuk wirausaha (entrepreneurship) yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Asli Desa (PADes).

"Kunci, rekan-rekan kepala desa harus memiliki skill, bukan hanya pemimpin yang kuat, strong leader. Strong leader itu dia punya power/kekuasaan, punya pengikut rakyat, tapi juga punya konsep untuk berpikir (desa) mau di bawa ke mana," pungkas dia.

(fdl/fdl)

Hide Ads