Pengusaha Hotel Ungkap PR Industri Pariwisata yang Harus Dibenahi

Pengusaha Hotel Ungkap PR Industri Pariwisata yang Harus Dibenahi

Aulia Damayanti - detikFinance
Selasa, 22 Okt 2024 15:45 WIB
Ilustrasi Pariwisata Bali
Ilustrasi Foto: Dok. Shutterstock
Jakarta -

Kabinet Merah Putih periode 2024-2029 telah resmi dilantik pada 21 Oktober 2024. Sejumlah menteri pun menyampaikan prioritas mereka, termasuk Menteri Pariwisata Widiyanti Putri yang menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta pariwisata sebagai motor penggerak ekonomi yang inklusif.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran pun mengatakan bahwa tantangan pariwisata tidak hanya dari sisi SDM, bahkan lebih besar. Terutama terkait regulasi dan birokrasi yang sering menghambat para pelaku usaha.

"Regulasi harus jadi fokus program 100 hari pemerintahan baru, dan Kemenpar harus lebih dari sekadar promosi. Industri harus sehat dulu untuk bisa menarik wisatawan dan membangun destinasi," jelas Maulana dalam keterangannya Selasa (22/10/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu permasalahan yang ia soroti adalah keberadaan Online Travel Agents (OTA) asing yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, sehingga tidak membayar pajak dan merugikan industri lokal.

"OTA asing ini tidak memiliki NPWP, jadi industri lokal yang akhirnya harus menanggung pajak sebesar 20 persen. Ini beban besar," seru dia.

ADVERTISEMENT

Dia menjelaskan bahwa OTA asing tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% seperti yang diwajibkan pada penyedia jasa di Indonesia. Padahal dalam aturan akomodasi perjalanan, komisi yang diterima OTA asing bisa mencapai 18%. Mereka pun tak dikenakan pajak komisi 1,1%.

Hal ini, kata dia akibat OTA asing tidak memiliki BUT, yang akhirnya membuat mereka tidak membayar pajak tersebut dan membebankan kepada hotel. Selain itu, OTA asing juga kerap melanggar perjanjian kontrak dengan hotel.

Belum lagi soal OTA asing yang menggunakan strategi 'bakar uang' dengan memberikan diskon besar untuk menarik pelanggan. Meskipun ini tampak menguntungkan bagi wisatawan, pada kenyataannya skema ini merusak pendapatan hotel dan penyedia jasa wisata lokal.

Aplikator asing tersebut memaksakan harga sangat rendah di aplikasinya, sehingga hotel terpaksa mengikutinya. Menurutnya, dalam jangka panjang strategi ini akan berdampak pada keberlanjutan usaha lokal di sektor pariwisata.

"Apalagi mereka juga menerapkan parity rate yang memaksa hotel tidak bisa menjual dengan harga lebih rendah dari yang mereka tetapkan. Kami tidak punya pilihan karena mereka menguasai pasar digital," tutur dia.

Di sisi lain, mahalnya harga tiket pesawat juga menjadi hambatan bagi mobilitas wisatawan domestik. Menurut Maulana, pemerintah perlu segera mengevaluasi harga tiket pesawat untuk meningkatkan pergerakan wisatawan dalam negeri.

"Mahalnya harga tiket pesawat sangat mengganggu. Pemerintah perlu mengevaluasi masalah ini, karena mobilitas wisatawan adalah kunci keberhasilan program pariwisata dalam negeri," jelasnya.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Budijanto Ardiansjah, pun ikut menekankan pentingnya pemerintah baru untuk mencapai target kunjungan 17 juta wisatawan mancanegara pada 2024.

Salah satu yang perlu dilakukan adalah merumuskan kembali kebijakan bebas visa kunjungan singkat (BVKS), mengingat dari 145 negara, hanya 19 negara yang termasuk dalam kebijakan tersebut. Hal ini didorong guna menciptakan iklim usaha pariwisata jadi penopang ekonomi nasional.

"Maka dari itu, kami menyambut baik rencana pemerintah untuk memisahkan Kementerian Pariwisata dari Kementerian Ekonomi Kreatif, karena ini akan mempercepat kinerja sektor pariwisata ke depan," ucapnya.

(das/das)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads