Guru Besar Hukum Internasional: Stop Penjajahan Melalui Regulasi Tembakau!

Guru Besar Hukum Internasional: Stop Penjajahan Melalui Regulasi Tembakau!

Rahmat Khairurizqi - detikFinance
Kamis, 07 Nov 2024 12:36 WIB
detikcom leaders forum
Foto: Retno Ayuningrum
Jakarta -

Belum genap satu bulan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berjalan, polemik terkait regulasi telah muncul ke permukaan. Hal ini bersumber dari wacana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memaksakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).

Rencana kebijakan ini menimbulkan kegaduhan karena dipandang berbagai pihak mengabaikan kontribusi signifikan sektor industri hasil tembakau (IHT) terhadap perekonomian selama ini. Kajian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut, apabila ketentuan dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes diberlakukan, maka akan ada dampak negatif hingga Rp308 triliun pada perekonomian nasional.

Terlebih, rencana kebijakan ini ditengarai merupakan upaya Kemenkes mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menyikapi ini, dalam acara detikcom Leaders Forum bertajuk "Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru" yang dilaksanakan pada Selasa (5/11), Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana melayangkan kritik keras kepada Kemenkes.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus dipahami, penjajahan saat ini tidak hanya berbentuk kolonialisasi. Melainkan juga melalui penyelundupan kebijakan-kebijakan sarat kepentingan lembaga asing ke dalam regulasi nasional," seru Hikmahanto.

Ia juga menggarisbawahi bahwa Indonesia sampai saat ini tidak meratifikasi FCTC sehingga tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan di dalamnya. "Hal ini akan berlawanan dengan arahan Presiden Prabowo untuk menegakkan kedaulatan Indonesia," tegasnya.

ADVERTISEMENT

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, turut menyampaikan kekhawatirannya. Ia mengatakan bahwa IHT merupakan sektor padat karya yang membutuhkan dukungan dari pemerintah, bukan tekanan dari regulasi yang eksesif. Sudarto juga menyebut bahwa pihaknya telah mencoba melalui berbagai cara untuk dapat memberikan masukan kepada Kemenkes.

"Kami coba terus berpartisipasi dalam proses pembuatan peraturan tersebut, tapi tidak didengar. Setelah ribuan anggota kami turun ke jalan barulah Kementerian Kesehatan mau berdialog," katanya.

"Ketika itu, seorang direktur Kemenkes mengatakan bahwa pengaturan kemasan rokok tanpa identitas merek masih jauh. Dia juga sepakat akan melibatkan RTMM dalam perumusan aturan. Namun sampai sekarang hal ini tidak terjadi," lanjutnya.

Sikap Kemenkes yang tidak transparan dan konsisten ini semakin memperbesar polemik terkait rencana penyeragaman kemasan tanpa identitas merek. Dengan sumbangsih besar IHT bagi perekonomian negara melalui kontribusi cukai dan penyediaan lapangan kerja, tentu diperlukan keterbukaan dalam perumusan kebijakan yang terkait.

Banyak pihak juga berharap agar kebijakan penyeragaman kemasan tanpa identitas merek ini dapat ditinjau kembali. Hal ini penting agar kebijakan yang diambil tidak hanya efektif dalam mencapai target kesehatan, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sektor tembakau dan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat.

(akn/ega)

Hide Ads