Institite for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritisi rencana pemerintah dalam menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 12% pada Januari 2025. Penerapan kebijakan ini dinilai kurang tepat dengan melihat kondisi daya beli masyarakat yang saat ini tengah dalam tren penurunan.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto mengatakan, dalam empat triwulan terakhir laju konsumsi rumah tangga berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun ini, tercatat laju konsumsi berada di posisi 4,91% dan di kuartal II mencapai 4,94%.
"Awal tahun Imlek, disusul puasa dan Lebaran, disusul Pemilu, (pertumbuhan konsumsi) tidak sampai 5%. Itu sebetulnya harus ada sign of crisis," kata Eko, dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 oleh INDEF di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah situasi ini, Eko menyoroti tentang narasi-narasi pemerintah yang penuh dengan rencana kenaikan tarif. Misalnya rencana kenaikan tarif BPJS Kesehatan per Juni 2025, di mana nilainya belum pernah berubah sejak tahun 2015. Lalu rencana penerapan subsidi tiket KRL mengacu pada KTP, hingga rencana kenaikan PPN.
"Yang menggelegar saat ini kan PPN 12%. Ini salah satu yang mungkin perlu saya kritisi, sudah beberapa kali diskusi publik tapi tetep saya ulang-ulang, kenapa? Karena situasi PPN 12% pada saat ekonomi sedang melemah itu seperti sudah jatuh tertimpa tangga," ujarnya.
Eko mempertanyakan kepekaan para pemangku kebijakan terhadap situasi ekonomi, di mana saat ini ekonomi sudah melambat, namun kenapa kebijakan seperti itu tetap mau dilakukan. Padahal menurutnya, masih ada waktu untuk mengoreksi kebijakan itu hingga RI benar-benar siap.
"Kalau untuk politik kok 1-2 hari itu bisa diubah Undang-Undang. Tapi kalau untuk ekonomi yang langsung menyangkut hajat hidup orang banyak gitu ya kok susah sekali," kata dia.
Pemerintah sendiri punya target perolehan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang besar untuk tahun depan. Untuk tahun 2025 targetnya mencapai Rp 945 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun ini Rp 819 triliun.
Eko mengatakan, kenaikan PPN ini akan paling terasa di sektor ritel. Penerapan PPN 12% diproyeksikan akan membuat konsumsi rumah tangga turun 0,26%, serta membuat pertumbuhan ekonomi RI menurun sekitar 0,19%.
"Jadi ibaratnya kalau kita naikin PPN 12%, mungkin kita mulai bicara pertumbuhan di bawah 5%. Angka (proyeksi pertumbuhan RI versi INDEF) 5% itu kita masih mengasumsikan PPN tidak naik. Tapi kalau naik, kurangi saja 0,17%, jadi 4,83% (pertumbuhan ekonominya)," kata dia.
"Itulah situasinya, sekarang tinggal pemerintah itu mau menumbuhkan ekonomi dari strategi tadi menggunakan dorongan sektor swasta atau mau memang dari belanja pemerintah," sambungnya.
Simak Video: Indef Menyayangkan Rencana Pemerintah Naikkan PPN Jadi 12%
(shc/rrd)