Seruan Frugal Living Lawan PPN 12% Bisa Guncang Ekonomi RI

Seruan Frugal Living Lawan PPN 12% Bisa Guncang Ekonomi RI

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 21 Nov 2024 17:12 WIB
Women use mobile phone to calculate bill after shopping at the supermarket, Close up of hand checking long grocery receipt, she is using a budgeting and money saving mobile app
Foto: Getty Images/M Stock
Jakarta -

Seruan penerapan gaya hidup hemat atau yang biasa dikenal dengan sebutan frugal living lifestyle digaungkan masyarakat sebagai respons atas rencana penerapan berbagai kebijakan yang dipandang memberatkan. Hal ini termasuk dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12% di tahun 2025 nanti.

Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto memperingatkan, kampanye frugal living ini berpotensi membuat ekonomi Indonesia, yang saat ini tengah dalam pelemahan, jadi makin 'jeblok'.

"Hidup hemat ya kalau dilakukan tentu ekonomi turun lebih dalam, terutama pada sektor konsumsi karana dengan frugal living akan benar-benar irit masyarakat," kata Eko, dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 oleh INDEF di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eko menjelaskan, apabila sejak awal tahun 2025 ekonomi RI telah 'dihajar' dengan berbagai kenaikan tarif, akan membuat target omset unit-unit usaha terkoreksi sehingga akan muncul gelombang yang menekan angka konsumsi turun lebih dalam.

"Apalagi ada kampanye frugal living. Itu hak masyarakat mau hemat, memang daya beli sedang lemah, mungkin itu orang-orang yang tanpa kenaikan PPN juga harus hemat pengeluarannya," ujar dia.

ADVERTISEMENT

Lebih jauh lagi, menurutnya penerapan frugal living bisa jadi membuat Indonesia kesulitan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% pada tahun depan. Sebab, angka konsumsi diproyeksi bisa tertekan, dari yang saat ini di 4,9% menjadi 4,8%-4,75%.

"(Tapi) tergantung momentum juga apakah frugal livingnya, saat hari raya atau apa itu lebih penting karena konsumsi kita meningkatnya musiman," imbuhnya.

Di samping itu, industri manufaktur juga tengah mengalami pelemahan terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) yang turun ke posisi 48,9. Atas kondisi ini, menurutnya pemerintah perlu memberikan stimulus untuk mendorong geliat industri manufaktur dan menguatkan daya beli masyarakat.

Ia memperingatkan, jangan sampai pemerintah hanya memilih satu-dua industri yang diselamatkan, misalnya seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang tengah diambang kebangkrutan. Eko menekankan, pemerintah harus berdiri di tengah.

"PMI yang turun itu sudah betul-betul indikasi bahaya untuk sektor industri sehingga itu harus dirumuskan apakah dengan insentif fiskal atau non fiskal. Kalau fiskalnya berat, termasuk berantas pungli, itu bisa signifikan lho memberi ekspektasi ke dunia usaha," ujarnya.

Beberapa kebijakan non fiskal yang bisa menjadi pilihan untuk diterapkan pemerintah yakni tata kelola penegakkan hukum dalam mencegah impor ilegal. Eko menilai, langkah itu sudah menjadi bentuk insentif yang penting.

Sedangkan untuk kelas menengah sendiri, menurutnya insentif yang perlu diberikan terbilang unik karena tidak bisa dalam bentuk bantuan sosial (bansos). Salah satu contohnya dengan menahan tarif angkutan umum agar tidak naik, lalu memperbanyak wifi gratis, hingga pemberian pulsa.

"Ketiga, kaitannya dengan misal biaya pendidikan. Oke kalau nggak bisa pendidikan, kursus gratis diberikan, supaya anak-anak kelas menengah bisa lebih cerdas," kata Eko.

Lihat Video: Jeritan Warga soal PPN Bakal Naik Jadi 12% di 2025

[Gambas:Video 20detik]



(shc/rrd)

Hide Ads