Perdana Menteri (PM) Thailand, Paetongtarn Shinawatra, mengumumkan bahwa dirinya memiliki harta kekayaan lebih dari US$ 400 juta atau setara dengan Rp 6,48 triliun pada Jumat. Harta ini juga termasuk lebih dari 200 tas buatan desainer senilai lebih dari US$ 2 juta, dan sekitar 75 jam tangan mewah senilai hampir US$ 5 juta.
Paetongtarn adalah putri bungsu dari miliarder di bidang telekomunikasi dan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Paetongtarn mulai menjabat sebagai PM Thailand pada September 2024, sebagai anggota klan keempat yang memimpin pemerintahan Thailand dalam 20 tahun.
Ia diwajibkan melaporkan harta dan kewajibannya kepada Komisi Nasional Anti Korupsi (National Anti-Corruption Commission/NACC). Mengutip dari Channel News Asia pada Sabtu (4/1/2025), di dalam laporan itu teridentifikasi bahwa Paetongtarn memiliki aset sebesar 13,8 miliar baht (US$ 400 juta).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
NACC dalam laporannya menyatakan, investasi yang dimiliki Paetongtarn senilai 11 miliar baht dan ia memiliki satu miliar baht lagi dalam bentuk deposito serta uang tunai.
"Asetnya yang lain termasuk 75 jam tangan senilai 162 juta baht dan 39 jam tangan lainnya, ditambah 217 tas tangan senilai 76 juta baht, serta properti di London dan Jepang, serta kepemilikan lainnya. Dia juga menyatakan liabilitas hampir 5 miliar baht," menurut dokumen NACC yang diposting oleh media lokal. Dengan angka ini, total kekayaan bersih Paetongtarn sebesar 8,9 miliar baht, atau sekitar US$ 258 juta, setara Rp 4,17 triliun.
Ayah Paetongtarn pernah memiliki klub sepak bola Manchester City, dan menurut Forbes, ia memiliki kekayaan bersih sebesar US$ 2,1 miliar dan menjadikannya orang terkaya ke-10 di Thailand.
Thaksin menggunakan kekayaan yang dihasilkan oleh kerajaan telekomunikasi Shin Corp untuk mendorongnya terjun ke dunia politik, dan keluarganya tetap berpengaruh bahkan selama bertahun-tahun di pengasingan setelah dia digulingkan melalui kudeta. Para analis mengatakan ada hubungan jangka panjang antara kekayaan dan kekuasaan di kerajaan tersebut.
"Di negara yang demokrasinya tidak berfungsi sepenuhnya, uang memainkan peran penting dalam aktivitas politik. Hal ini sering kali menjadi pembenaran atas intervensi militer, dengan klaim kurangnya transparansi," kata Yuttaporn Issarachai dari Universitas Sukhothai Thammathirat kepada AFP.
(eds/eds)