Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyampaikan kapal nelayan tanpa Vessel Monitoring System (VMS) atau perangkat monitoring sistem berbasis sinyal dapat beroperasi hingga Desember 2025. Kebijakan tersebut awalnya wajib berlaku bagi nelayan per 1 April 2025.
Kewajiban memasang VMS itu berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015. Aturan tersebut mengikat kapal berkapasitas 32 Gross Tonnage (GT) ke atas dan kapal 5-30 GT yang beroperasi di zona lebih dari 12 mil.
Kebijakan itu sempat mendapat protes dari nelayan di sejumlah daerah. Nelayan menilai kewajiban pemasangan VMS dapat menambah beban operasional karena harganya yang mahal. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengatakan kewajiban pemasangan VMS tersebut tertuang dalam aturan terkait seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 5/2021, PP 27/2021, hingga PP 11/2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah atas masukan dari banyak pihak, membuat transisi melalui Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, khususnya untuk kapal ikan izin pusat hasil migrasi dari izin daerah karena beroperasi di atas 12 mil laut serta kapal ikan yang izinnya menjadi kewenangan Gubernur," jelas Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HNSI, Agus Suherman, dalam keterangan resmi, Senin (21/4/2025).
Langkah tersebut, lanjut Agus, sangatlah baik dan bijak. Artinya, pemerintah senantiasa hadir dan menangkap dinamika yang berkembang dan juga tantangan-tantangan yang masih ditemukan di lapangan.
"Salah satu tantangan yang selalu dikemukakan di lapangan terkait VMS adalah harganya yang masih dianggap terlalu mahal khususnya untuk kapal 5-30 GT. Kita tahu sebetulnya harga VMS tahun ini sudah jauh lebih murah dari tahun-tahun sebelumnya, tapi itu masih dianggap belum begitu terjangkau untuk sebagian nelayan dan pelaku usaha," tutur Agus.
Oleh karena itu, kata Agus, HNSI mendorong pemerintah untuk menggunakan teknologi VMS yang semakin murah. Sehingga tidak memberatkan para nelayan di tanah air.
"Untuk kapal ikan ukuran 5-30 GT barangkali tidak harus teknologi berbasis satelit seperti yang ada saat ini. Bisa menggunakan teknologi alternatif, yang penting fungsinya sama yaitu untuk memantau pergerakan kapal yang sangat bermanfaat untuk nelayan, pemilik kapal, dan pemerintah," ujar Agus.
"Bayangkan tanpa VMS, apabila di laut yang luas sana terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, maka tentu akan susah dicarikan posisinya sehingga upaya pertolongan tidak bisa segera," tutur Agus.
"Selanjutnya, apabila harga VMS semakin murah, misal di kisaran Rp 1-2 juta tanpa biaya air time, maka semakin tidak ada kendala lagi bagi pemilik kapal ukuran 5-30 GT untuk segera memasang VMS," pungkasnya.
Selain itu, Agus juga mengatakan mengelola perikanan tangkap di tanah air disadari tidaklah mudah. Mengingat, adanya keberagaman dan kompleksitas dalam berbagai aspek, mulai dari sumber daya, teknis penangkapan, lingkungan, serta pemangku kepentingan yang juga beraneka rupa dengan segala aspirasinya.
"Kita harus telaten, banyak bersabar, banyak dialog dan diskusi. Oleh karena itu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) hadir menjadi jembatan, agar aspirasi itu bisa diartikulasikan dengan baik dan disampaikan kepada pemegang otoritas yaitu pemerintah," ujar Agus.
"Pada saat yang sama HNSI selalu siap berkolaborasi dengan pemerintah untuk menyosialisasikan kebijakan-kebijakan kepada nelayan dan pelaku usaha perikanan yang pasti tujuannya baik dalam rangka transformasi tata kelola perikanan tangkap di tanah air," kata Suherman.
(fdl/fdl)