Hubungan Indonesia China yang tahun ini menginjak usia 75 tahun ternyata tak lepas dari tantangan dan ganjalan. Selain klaim ilegal China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) asal negara itu juga masih menjadi tantangan yang memperoleh perhatian khusus.
Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam menyampaikan topik mengenai TKA asal China ini tak hanya menjadi perhatian masyarakat Indonesia, tetapi juga di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Ia juga menyoroti kecenderungan meningkatnya angka dan persentasi dari TKA asal China itu dibandingkan dengan TKA asing lainnya.
Bagi Umam, isu ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. "Saya mengharapkan agar diskusi ini bukan hanya berfokus pada bagaimana memberdayakan masyarakat dan pekerja lokal, tetapi juga mendorong agar transfer teknologi dari China benar-benar terlaksana," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (6/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Ketua FSI, Johanes Herlijanto menganggap isu TKA China sangat relevan bagi studi mengenai China dan hubungan Indonesia China karena isu ini dapat dipahami dalam kerangka migran baru asal China. Menurutnya, berbeda dari 'migran lama' yang membentuk komunitas etnik Tionghoa yang telah berakar dan menjadi bagian dari masyarakat setempat di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain, fenomena migran baru mulai muncul sejak tahun 1980-an, dan sebagian besar di antara mereka masih memegang kewarganegaraan China.
"Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi dan memilih untuk bermigrasi ke negara-negara yang relatif kaya, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Australia atau Selandia Baru," tutur Johanes.
Namun seiring dengan kebijakan RRC untuk memberikan bantuan serta berinvestasi dengan negara lain, TKA China turut membentuk fenomena 'migran baru' tersebut.
"Mereka menjadi bagian dari 'bantuan terikat' asal RRC yang mensyaratkan pemanfaatan tenaga kerja dan bahan asal RRC dalam proyek yang didanai dengan bantuan atau investasi RRC di negara tujuan," jelasnya.
Menurut Johanes, kehadiran tenaga kerja itu mendapat penerimaan yang beragam dari masyarakat Indonesia dari berbagai periode. "Pada pertengahan 2000-an, masyarakat Indonesia menganggap TKA China sebagai inspirasi, khususnya karena etos kerja mereka, yang antara lain memperlihatkan kedisiplinan," ujarnya.
Namun ia juga menjelaskan bahwa sejak 2015, berkembang pula pandangan negatif di kalangan masyarakat terhadap kehadiran TKA asal China tersebut, khususnya terkait jumlah dan persentasi mereka, potensi mereka menjadi pesaing bagi pekerja dan calon pekerja asal Indonesia, kesenjangan budaya, dan isu terkait legalitas mereka.
Dalam pandangan Johanes, meski persepsi yang berkembang dalam masyarakat kadang-kadang berbeda dari realita yang ada, namun kekhawatiran yang berkembang dalam masyarakat dapat dipahami. Senada dengan umam, dosen pada Magister Ilmu Komunikasi UPH tersebut memberi perhatian khusus pada persentasi yang cukup tinggi serta kecenderungan peningkatan dari TKA asal China itu. Selain itu, dalam pandangannya, isu terkait legalitas dari sebagian TKA asal China itu juga patut mendapat perhatian khusus.
"Pasalnya, seperti dituliskan dalam studi dari seorang profesor di sebuah universitas di manca negara, sebagian dari TKA asal China tak jarang melakukan praktik 'easy come easy go,' yaitu datang dengan visa yang tak sesuai aturan izin kerja untuk bekerja di Indonesia, lalu pergi meninggalkan Indonesia ketika masa berlaku visa habis, dan kembali lagi ke Indonesia setelah beberapa waktu," tutur Johanes.
Dia juga berpendapat bahwa RRC sebenarnya dapat mencari solusi untuk mengurangi kehadiran TKA China ini, antara lain dengan memberi perhatian pada transfer teknologi dan pengetahuan.
"Alih-alih berkutat pada anggapan bahwa pekerja Indonesia kurang mumpuni dan memiliki kesulitan komunikasi dengan pihak China, RRC diharapkan meningkatkan komitmen untuk melakukan transfer teknologi dan transfer pengetahuan sehingga di masa mendatang terdapat pekerja-pekerja Indonesia yang memiliki kecakapan setara dengan TKA asal China dan dapat berkomunikasi dengan baik dengan rekan-rekan mereka asal RRC," pungkasnya.
Dalam pandangan Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Anggiat Napitupulu,,memang terjadi perubahan dalam hal perizinan sejak berlakunya Undang Undang Cipta Kerja.
Menurutnya, perubahan tersebut antara lain berupa penyederhanaan perizinan TKA, serta visa dan izin tinggal yang dapat diperoleh dengan lebih cepat. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia itu menjelaskan bahwa kebijakan investasi RRC kini telah bergeser, dari yang dulu dikenal sebagai 3 M, yaitu Money (modal atau uang), Manpower (tenaga kerja), dan material (bahan baku) berubah menjadi pendekatan yang lebih strategis dan berkwalitas tinggi.
"China kini memiliki fokus baru, seperti transfer teknologi, kolaborasi industry, green investment (investasi hijau), ekonomi digital dan infrastruktur cerdas, dan memberi penekanan pada penggunaan TKA yang berada pada level tinggi, seperti teknisi dan supervisor," ujarnya.