Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) buka-bukaan soal kondisi industri pariwisata. Hal ini menyusul adanya kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tersebut di Bali.
Ketua Umum DPP ASITA Rusmiati menjelaskan PHK di sektor pariwisata terjadi imbas efisiensi anggaran dan pembatasan kegiatan Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) yang biasanya dilakukan pemerintah. Namun, ia menyebut kondisi ini tidak terjadi merata di seluruh ekosistem industri pariwisata.
Rusmiati menyebut, subsektor perhotelan dan restoran yang terimbas paling parah akibat pembatasan kegiatan MICE pemerintah. Ia mengatakan PHK ini utamanya terjadi di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak awal 2025, beberapa pemerintah daerah dan instansi pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, termasuk pembatasan kegiatan MICE di hotel. Hal ini menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 20-30%, memaksa banyak pengelola hotel untuk merumahkan sebagian karyawan, terutama di level operasional," terang Rusmiati kepada detikcom, Senin (16/6/2025).
Terkait Bali, terang Rusmiati, PHK yang terjadi di subsektor pariwisata juga disumbang oleh menjamurnya penginapan pribadi dan akomodasi tidak resmi yang dipasarkan lewat platform online. Hal ini yang menimbulkan anomali di tengah stabilnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Bali yang rata-rata 18.000 orang per hari di kuartal I 2025.
"Wisatawan ramai, tapi hotel resmi sepi. Ini berdampak langsung pada pendapatan hotel legal dan pengurangan tenaga kerja secara bertahap, meski tidak diumumkan secara besar-besaran," jelasnya.
Rusmiati menjelaskan, jumlah PHK secara nasional juga menyebabkan terjadinya penurunan perjalanan wisata ke sejumlah destinasi. Pasalnya dalam kondisi ini, daya beli masyarakat melemah dan mempengaruhi pembelian tiket perjalanan.
Namun begitu, dampaknya tidak sampai membuat perusahaan perjalanan wisata melakukan PHK karyawan. Rusmiati menjelaskan, sektor perjalanan wisata sendiri umumnya memiliki struktur kerja yang fleksibel dengan tenaga kontrak lepas seperti pemandu wisata freelance.
"Dalam kondisi menurun, mereka lebih cenderung mengurangi jam kerja atau menunda proyek, bukan langsung memutus hubungan kerja secara besar-besaran," jelasnya.
Lebih lanjut, Rusmiati menyebut permintaan di industri pariwisata dan tren perjalanan masih tetap tumbuh hingga saat ini. Berdasarkan data yang ia berikan, tercatat sebanyak 410,99 juta perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) sampai April 2025 atau naik 15,7% yoy. Sementara kunjungan (wisman) di kuartal I2025 tercatat 2,74juta yoy.
Adapun provinsi tujuan terbanyak hingga April 2025 yakni Pulau Jawa sebesar 84,07 juta perjalanan atau sekitar 65,38% dari total perjalanan nasional, yang meliputi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
"Secara agregat, kami melihat demand tetap tumbuh," imbuhnya.
Simak juga Video PCO: Memang Terjadi PHK, Tapi Lapangan Kerja Baru Lebih Banyak