Ekonomi Tanpa Sekat Upah

Kolom

Ekonomi Tanpa Sekat Upah

Rioberto Sidauruk - detikFinance
Jumat, 20 Jun 2025 14:06 WIB
Bursa kerja digelar di Thamrin City, Jakarta, Rabu (12/3/2025). Acara ini diserbu para pencari kerja.
Ilustrasi bursa kerja. Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta -

Masa depan pekerjaan sedang bergolak. Kita memasuki era Post-Labor Economics, sebuah fase transformatif di mana fondasi upah dan tunjangan tradisional diuji oleh gelombang otomatisasi, perubahan demografi, dan tuntutan ekonomi baru.

Dalam beberapa tahun ke depan, skema upah dan tunjangan yang kita kenal hari ini diprediksi akan mengalami disrupsi signifikan, dan Indonesia harus siap menghadapi gejolak ini.

Riset terkini menunjukkan bahwa sistem upah minimum statis, seperti halnya upah federal AS yang tak berubah sejak Juli 2009 sementara inflasi terus menggerus daya belinya, akan ditinggalkan. Begitu pula 'subminimum wage' untuk pekerja tip, yang telah dihapus di setidaknya enam negara bagian AS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Praktik ini terbukti membantu memperbaiki kondisi pekerja di sektor tersebut. Di Indonesia, ini berarti sektor informal (yang mencakup hampir 60% tenaga kerja) akan terdorong menuju standar yang lebih seragam, didorong tuntutan transparansi yang semakin menguat secara global.

Model negosiasi upah yang tertutup pun akan runtuh. Praktik tawar-menawar upah di sektor formal akan digantikan 'wage posting' transparan di lowongan kerja, sebuah mekanisme yang mengurangi asimetri informasi dan berpotensi menekan kesenjangan upah. Praktik 'upah berdasarkan pengalaman' juga akan ditinggalkan karena dianggap memicu bias.

ADVERTISEMENT

Transparansi gaji ini secara umum terbukti menekan disparitas upah. Bahkan, upah berbasis lokasi geografis juga akan usang. Digitalisasi pekerjaan memicu alokasi upah berbasis skill global, bukan lagi zona ekonomi lokal.

Pekerja di kota-kota seperti Bandung bisa dibayar setara pekerja di Jakarta untuk peran remote, meski ini juga membawa tantangan persaingan dengan tenaga kerja global.

Tonton juga Video: UMP Naik 6,5% di Semua Provinsi, Cek UMP Daerahmu di Sini!

lanjut ke halaman berikutnya

Runtuhnya Tunjangan Tradisional

Disrupsi tak berhenti pada upah. Tunjangan yang kaku pun akan bernasib serupa. Model asuransi kesehatan berbasis perusahaan, yang di Indonesia hanya tersedia untuk sebagian kecil pekerja formal, kemungkinan akan digantikan skema tunjangan portabel berbasis pemerintah, seperti ekstensi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjangkau jutaan pekerja informal yang belum terintegrasi penuh JKN.

Paket tunjangan tetap non-fleksibel (misalnya cuti sakit seragam) akan tergeser modul tunjangan 'on-demand', seperti dana pelatihan atau subsidi penitipan anak. Tren global menunjukkan preferensi pekerja terhadap tunjangan adaptif.

Namun, implementasinya di Indonesia masih terhambat regulasi ketenagakerjaan yang kaku. Bahkan, sistem jaminan sosial tradisional (seperti BPJS Ketenagakerjaan), yang akan kewalahan menampung pekerja paruh waktu dan gig economy yang terus bertumbuh, mungkin akan berevolusi.

Konsep Universal Basic Benefits (UBB), yang sedang diuji coba di beberapa negara maju, dapat menjadi alternatif. Di Indonesia, kita masih di tahap awal dengan program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang cakupannya masih perlu diperluas.

Ancaman dan Peluang Indonesia

Transformasi ini dipercepat oleh beberapa faktor kunci di Indonesia. Deindustrialisasi prematur, dengan proyeksi PHK massal di sektor tekstil (sekitar 280.000 pekerja pada 2025), memaksa transisi cepat ke ekonomi berbasis keterampilan, tetapi tanpa kesiapan infrastruktur pelatihan yang memadai.

Demografi muda Indonesia (dengan lebih dari 150 juta angkatan kerja dan median usia sekitar 30 tahun) berpotensi menjadi aset jika reskilling berhasil, tetapi berisiko menjadi beban jika gagal. Tekanan global, termasuk gejolak pasar dan banjir impor murah, juga mempercepat otomatisasi industri dan memangkas pekerjaan berbasis upah rendah.

Dampak sosial-ekonomi yang kritis pun mengintai. Ada risiko polarisasi ketenagakerjaan: jutaan pekerja sektor informal berisiko kehilangan pendapatan tanpa jaring pengaman yang memadai, sementara pekerja terampil di kota akan menikmati upah global.

Eksklusi pekerja senior (sekitar 15% dari total tenaga kerja berusia di atas 50 tahun) yang kesulitan akses pelatihan ulang, berpotensi meningkatkan pengangguran struktural. Terakhir, ketimpangan geografis akibat konsentrasi investasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung akan memperlebar jurang upah desa-kota, memicu urbanisasi tak terkendali.

Tonton juga Video: UMP Naik 6,5% di Semua Provinsi, Cek UMP Daerahmu di Sini!

lanjut ke halaman berikutnya

Roadmap Adaptasi dan Rekomendasi

Untuk menghadapi ini, Indonesia butuh adaptasi cepat. Dalam beberapa tahun ke depan, kita bisa melihat inisiatif awal UBB terbatas dan integrasi 'wage posting' dalam platform rekrutmen. Penghapusan upah subminimum untuk sektor formal mungkin terjadi, meski UMKM perlu dipertimbangkan untuk dispensasi.

JKN berpotensi diperluas menjadi tunjangan portabel dasar, dan formula upah minimum provinsi bisa berevolusi ke 'skill-based indexing' berbasis sertifikasi kompetensi.

Rekomendasi kebijakan strategis menjadi krusial. Reformasi JKP perlu diperluas cakupannya dan diintegrasikan dengan insentif pelatihan berbasis industri prioritas (misalnya ekonomi hijau). Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk Peta Jalan Reskilling Nasional, dengan program seperti Kartu Prakerja versi industri yang fokus pada sertifikasi digital bagi pekerja terdampak PHK.

Terakhir, desentralisasi ekonomi melalui pembangunan pusat-pusat digital di luar Jawa (misalnya Batam atau Makassar) penting untuk menyerap tenaga kerja terampil dengan tawaran upah yang kompetitif dan insentif yang menarik.

Kunci Sukses: Membuat Peran Baru

Transisi Indonesia menuju Post-Labor Economics akan lebih dalam dan berisiko dibanding negara maju akibat ketergantungan pada sektor informal, deindustrialisasi prematur, dan kesenjangan regulasi. Tiga titik kritis yang menentukan keberhasilan kita adalah: kecepatan adopsi skema tunjangan portabel, efektivitas alih keterampilan massal, dan kemampuan meredistribusi kesempatan kerja berbasis skill ke seluruh Nusantara.

Kegagalan mengatasi tiga tantangan ini berpotensi memicu stagnasi ekonomi berkepanjangan dan eksklusi sosial, terutama di tengah momentum bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2045. Dalam era di mana sebagian besar pekerjaan tradisional dapat berisiko hilang akibat otomatisasi, kesuksesan bukan lagi tentang 'mencari lowongan', tetapi membuat peran baru melalui kombinasi keunikan manusia (empati, kreativitas, etika), penguasaan teknologi (AI sebagai alat, bukan ancaman), dan agilitas ekonomi (pendapatan multidimensi).

Ini adalah misi bangsa kini, yang membutuhkan visi jangka panjang, eksekusi konsisten, dan keyakinan teguh bahwa setiap individu punya potensi tak terbatas untuk menjadi penggerak ekonomi. Mari kita wujudkan potensi itu, karena era emas perekonomian Indonesia ada di tangan kita.


Rioberto Sidauruk
Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI

Tonton juga Video: UMP Naik 6,5% di Semua Provinsi, Cek UMP Daerahmu di Sini!

Halaman 2 dari 3
(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads