Tenaga kerja lulusan sarjana (S1) kini banyak yang terpaksa banting setir menjadi asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga security. Hal ini menunjukkan bagaimana kuliah selama bertahun-tahun tidak lagi menjadi patokan bisa mendapatkan pekerjaan layak.
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di pasar tenaga kerja dalam negeri. Bahkan dirinya sudah menemui langsung kasus serupa sejak awal berkarier pada 1995 lalu, alias 30 tahun lalu. Hanya saja waktu itu fenomena ini belum menjadi sorotan.
"Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Jadi sejak saya pertama kerja tahun 1995, itu security saya S2. Serius nih, saya kerja di oil company itu security saya itu S2 lulusan sastra Inggris UGM," kata Ivan kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ivan penyebab utama munculnya fenomena ini adalah proporsi supply dan demand di pasar tenaga kerja Indonesia yang sangat timpang alias. Di mana jumlah angkatan kerja atau supply jauh lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja atau demand. Sehingga ijazah S1 sebagian besar hanya menjadi salah satu cara untuk menyaring kandidat secara administrasi dengan lebih mudah.
"Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang. Jadi banyak supply-nya daripada demand-nya. Ijazah itu dipakai, saya bilangnya buat memotong kandidat," papar Ivan.
"Tapi kalau di negara-negara yang supply sama demand kerjanya terbalik, jadi saya ambil yang ekstrim di Qatar gitu ya, itu permintaan tenaga kerjanya jauh lebih tinggi daripada supply-nya. Dia nggak pengaruh-pengaruh amat ijazah. Karena yang penting ada orang yang mau kerja, bisa kerja, selesai," sambungnya.
Belum lagi menurutnya sekarang ini mulai banyak perusahaan di Indonesia, khususnya di perusahaan multinasional, yang tidak lagi melihat lulusan sarjana tertentu sebagai syarat utama dalam menerima pekerja. Alih-alih, para pemberi kerja ini cenderung hanya membutuhkan mereka yang mampu bekerja dengan baik di bidang tertentu.
Dengan begitu, kini banyak pencari kerja yang bersaing menggunakan keahlian masing-masing daripada gelar sarjana tertentu. Pada akhirnya mereka-mereka lulusan sarjana yang kalah bersaing untuk mendapatkan kerja formal inilah yang mau tak mau harus banting setir ke pekerjaan informal tadi.
"Bahkan perusahaan-perusahaan besar Fortune 500 itu sudah banyak sih yang dia nggak minta ijazah. Dia cuman butuh lulus tes saja jadi karyawan. Karena memang tadi bagi mereka yang penting fit dan bisa kerja," terangnya.
"Saya nggak bilang ijazah akademis itu nggak penting, nggak. Tapi tadi, karena kondisi pasar yang tidak seimbang antara supply dengan demand tenaga kerja. Artinya kandidat perlu nilai tambah, nilai plus," tegas Ivan.
Alih-alih ijazah akademis, Ivan mengatakan saat ini banyak HRD lebih mencari kandidat yang memiliki 'ijazah' lain berupa sertifikasi keahlian tertentu. Sebab melalui sertifikasi tersebut para pemberi kerja dapat melihat bahwa kandidat memiliki kompetensi teknis di bidang-bidang pekerjaan yang sedang dicari.
"Sebaiknya memang dimulailah ambil tadi ijazah atau sertifikat yang teknis, yang spesialis. Jadi misal yang tadi saya bilang yang namanya sertifikat untuk robotik gitu ya, sertifikat untuk coding. Nah, itu tetap laku kalau yang itu," jelasnya.
Senada, Pengamat Ketenagakerjaan UGM Tadjudin Noor Effendi mengatakan biang kerok banyaknya lulusan sarjana banting setir menjadi pekerja informal seperti sopir hingga ART jumlah lapangan pekerjaan yang dibuka setiap tahunnya tidak sanggup menampung pertumbuhan tenaga kerja di Indonesia.
"Angkatan kerja yang berusaha masuk pasar kerja itu cukup tinggi. Menurut data BPS kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta orang. Nah secara teoritis itu setiap ada pertumbuhan ekonomi 1% dapat menciptakan peluang kerja 200 sampai 300 ribu," jelasnya.
"Kira-kira kalau pertumbuhan 5%, katakan saja lah kita memiliki 300 ribu setiap satu persen, hanya 1,5 juta lapangan kerja yang dibuka. Yang masuk ke pasar kerja kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta, berarti kan ada orang yang tidak bisa masuk pasar kerja bergerak sampai 1 juta sampai 1,5 juta," sambung Tadjudin.
Kondisi ini belum termasuk mereka yang sempat terkena PHK dan perlu mendapat lapangan pekerjaan baru. Pada akhirnya mereka yang kalah bersaing dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal, beralih ke pekerjaan informal untuk menyambung hidup, membuat proporsi pekerja Tanah Air didominasi oleh pekerja informal tadi.
"Oleh karena itu menurut data sensus BPS 2025 angka pekerja sektor formal 40%, sektor informal kira-kira 60%. Jadi lebih banyak maksud sektor informal," tegasnya.
Oleh karena itu dirinya juga berpendapat sekarang ini para pekerja sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah untuk mencari pekerjaan. Diperlukan sertifikasi keahlian tertentu guna menunjukkan keahlian yang dimilikinya.
"Sertifikasi itu kan bukan menampakkan hanya kata-kata, tapi itu kan menunjukkan ada keahliannya. Skillnya Itu mempermudah juga mereka untuk masuk ke bidang-bidang yang dibutuhkan oleh perusahaan. Tidak hanya lantaran lulusan SMA, nggak ada skillnya itu, nggak ada nilai plusnya kan. Sarjana lulusan apa gitu nggak ada nilai plusnya," terangnya.
Untuk itu dirinya sangat menyayangkan bagaimana sekarang ini lembaga-lembaga pelatihan dan sertifikasi keahlian tertentu belum cukup banyak dan berkembang di Indonesia karena berbagai hal. Padahal lembaga inilah yang dapat sangat membantu para pencari pekerja untuk bisa mendapatkan lowongan.
"Tapi training itu yang juga belum berkembang. Karena tidak mudah juga membuat training. Karena membutuhkan dana yang cukup besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan latihan. Ini kan dibutuhkan berbagai macam alat untuk menumbuhkan skill mereka," katanya.
"Jadi kalau cuman katakan training tapi hanya membuat mur sama baut kan nggak ada gunanya. Harusnya kan yang benar-benar bermanfaat bagi pasar kerja," ucap Tadjudin lagi.
Simak juga Video: Lapangan Kerja Jadi Rapor Merah Prabowo-Gibran Menurut LSI Denny Ja