Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan sektor logistik nasional harus bersiap menghadapi dampak berantai dari eskalasi ketegangan di Timur Tengah, terutama terhadap jalur pelayaran internasional yang krusial seperti Selat Hormuz.
"Perang ini tidak hanya berdampak pada kawasan Timur Tengah, tapi bisa memicu disrupsi besar pada rantai pasok global, termasuk Indonesia, terutama yang terkait dengan minyak, bahan baku industri, serta rute pelayaran internasional," kata Ketua Umum ALFI Akbar Djohan dalam keterangan tertulis, Rabu (25/6/2025).
Sebagaimana diketahui, konflik antara Israel dan Iran meluas hingga melibatkan Amerika Serikat (AS). Ketegangan militer di kawasan penghasil dan penyalur minyak dunia itu disebut dapat memperparah tekanan terhadap biaya logistik internasional, termasuk pengangkutan barang ke dan dari Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akbar menyebut sebagian besar kapal niaga global melewati kawasan tersebut dan jika terganggu akan berdampak pada waktu tempuh, rute alternatif yang lebih jauh, serta harga bahan bakar.
"Lonjakan harga minyak sudah pasti akan memicu kenaikan biaya logistik. Selain itu, risiko keterlambatan pengiriman juga makin tinggi. Ini perlu disikapi serius oleh seluruh pelaku usaha dan pemerintah," ucap dia.
Baca juga: Selat Hormuz, Nuklir, dan Eskalasi Krisis |
Menurut Akbar, logistik merupakan urat nadi perdagangan nasional dan internasional sehingga gangguan terhadap jalur logistik global harus diantisipasi dengan cepat. Ia menilai perlu ada upaya mitigasi risiko dari pemerintah agar sektor logistik nasional tetap berjalan efisien dan tidak terjebak dalam krisis berlarut.
"Kita tidak bisa menunggu situasi semakin memburuk. Pemerintah perlu merumuskan skenario darurat logistik, termasuk memperkuat jalur distribusi domestik dan mendorong diversifikasi rute ekspor-impor," sambung Akbar.
ALFI juga mendorong pemerintah agar mempercepat transformasi digital dalam sistem logistik nasional. Menurutnya digitalisasi tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, melainkan juga mempermudah koordinasi dan pemantauan distribusi barang di tengah situasi global yang dinamis.
"Dengan digitalisasi dan sistem informasi logistik yang terintegrasi, kita bisa lebih tanggap dalam merespons disrupsi yang terjadi, baik karena faktor geopolitik, iklim, maupun ekonomi," tegas Akbar.
Selain itu, Akbar berharap pemerintah dapat memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga, khususnya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kadin serta ALFI untuk menyiapkan langkah-langkah antisipatif yang komprehensif.
"Pemerintah harus duduk bersama pelaku industri logistik dan menyusun roadmap respons krisis. Kita tidak boleh reaktif, tapi harus siap dengan berbagai skenario," tambah Akbar.
Di sisi lain, Akbar juga menekankan pentingnya memperluas pasar ekspor ke negara-negara yang tidak terdampak langsung oleh konflik, serta meningkatkan ketahanan logistik domestik agar tidak terlalu tergantung pada satu kawasan atau satu jalur pelayaran.
"Kita harus menjadikan krisis ini sebagai momentum memperkuat struktur logistik nasional, baik dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, maupun kebijakan. Diversifikasi pasar dan rute sangat penting agar kita tidak rentan," lanjut Akbar.
Akbar pun mengingatkan sektor logistik bukan sekadar alat angkut barang, melainkan elemen strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah sangat dibutuhkan, terutama bagi pelaku logistik kecil dan menengah yang rentan terkena dampak.
"Dukungan insentif fiskal dan regulasi yang fleksibel bisa menjadi bantalan agar sektor ini tetap tumbuh, bahkan dalam kondisi penuh ketidakpastian," kata Akbar.
Simak Video: Harga Minyak Dunia Diprediksi Meroket Usai AS Serang Iran
(aid/ara)