Indonesia tak lepas dari investasi baik dalam negeri maupun asing, contohnya dari China. Kehadiran investasi dan migran asal China di Indonesia membawa dampak yang beragam, baik positif maupun negatif.
Peneliti BRIN, Triyono, menilai salah satu dampak positif yang sering kali luput dari perhatian publik adalah berkembangnya perekonomian daerah akibat kehadiran industri smelter yang melibatkan investor asal China.
"Kehadiran industri smelter di sana telah menghidupkan perekonomian lokal. Ini hal yang jarang terungkap ke publik," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, ia juga mengungkap sisi lain dari kehadiran para migran baru asal China yang kerap menimbulkan persoalan sosial dan budaya. Triyono menyoroti adanya miskomunikasi, mispersepsi, serta prasangka yang tumbuh antara pekerja migran asal China dan masyarakat lokal, yang menurutnya berpotensi menimbulkan konflik.
"Untuk itu, perlu dibangun lembaga kerja sama sebagai ruang diskusi antara pekerja dan masyarakat lokal. Adaptasi sosial budaya bagi tenaga kerja asal Tiongkok perlu difasilitasi agar mereka memahami tradisi dan budaya lokal," kata dia.
Ia juga menambahkan pentingnya peningkatan pelaksanaan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR), termasuk pengelolaan limbah dan pelestarian lingkungan di sekitar wilayah investasi.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPH, Edwin Martua Bangun Tambunan, dalam seminar tersebut menyatakan bahwa isu migrasi menjadi simpul penting dalam memahami dinamika global abad ke-21.
"Tanpa memahami fenomena migrasi, kita tidak akan bisa memahami perkembangan dunia saat ini," ujarnya. Ia menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap dinamika migrasi asal China, khususnya dalam konteks Asia Tenggara.
Senada dengan itu, dosen MIKOM UPH dan Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, menyoroti perlunya membedakan antara migran baru asal China atau Xin Yimin, dengan etnis Tionghoa yang telah berabad-abad menetap di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Menurutnya, komunitas Tionghoa Indonesia telah beradaptasi dan memberikan kontribusi besar terhadap bangsa Indonesia. "Mereka adalah warga negara Indonesia yang menjunjung tinggi identitas kebangsaan Indonesia," ujarnya.
Ia mencatat bahwa generasi muda Tionghoa Indonesia, khususnya dalam aktivitas media sosial, menunjukkan kecenderungan menegaskan identitas mereka sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa, yang berbeda dari warga negara Tiongkok.
Pembicara lain dalam seminar, Profesor Leo Suryadinata, menyoroti kerancuan istilah "migran" yang digunakan dalam wacana publik. Menurut peneliti senior di ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura ini, istilah migran sering kali tidak tepat disematkan kepada warga negara Tiongkok yang datang ke Asia Tenggara hanya untuk jangka waktu terbatas.
"Mereka umumnya datang sebagai pekerja, pelajar, atau pelaku bisnis, dan tidak berencana menetap secara permanen. Ini berbeda dengan etnis Tionghoa yang telah lama menetap dan menyatu dengan masyarakat Asia Tenggara," ungkapnya.
Leo menjelaskan bahwa migran lama, kebanyakan berasal dari provinsi-provinsi selatan China seperti Fujian, Guangdong, dan Hainan, datang ke Asia Tenggara karena tekanan ekonomi pada awal abad ke-20. Mereka kemudian berakar dan menganggap kawasan Asia Tenggara sebagai tanah air mereka.
Sebaliknya, Xin Yimin atau migran baru, cenderung berpindah-pindah dan tidak berupaya melakukan integrasi budaya. "Karena datang dalam kelompok besar, mereka lebih sering berinteraksi antar sesama, sehingga proses integrasi dengan masyarakat lokal menjadi sangat terbatas," paparnya.
Leo menyebutkan bahwa meskipun ada tantangan dalam integrasi. Salah satu dampak positif yang patut diapresiasi adalah terjadinya transfer teknologi dari China ke Indonesia, yang umumnya dilakukan dengan biaya relatif lebih murah.
Namun, ia juga mengingatkan akan sejumlah risiko yang turut muncul, di antaranya adalah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, minimnya keterlibatan tenaga kerja lokal karena kendala bahasa, serta merebaknya fenomena perjudian daring yang melibatkan sindikat lintas negara, termasuk dari Tiongkok.
"Fenomena ini terjadi di berbagai negara Asia Tenggara seperti Laos, Myanmar, dan Filipina, dan Indonesia perlu waspada terhadap dampak sosialnya," kata Leo.
Ia mendorong para akademisi dan peneliti untuk mengkaji fenomena migran baru dari China secara kritis namun objektif, tanpa prasangka. "Fenomena ini sangat kompleks, tidak bisa hanya dilihat dari sisi negatif atau positif saja. Kita perlu pendekatan baru yang menyeluruh dan inklusif," pungkasnya.
(igo/fdl)