Netizen menyerbu Instagram Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai ada rencana platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Rencana itu diketahui sedang dalam tahap finalisasi aturan.
Berdasarkan pantauan detikcom, Kamis (26/6/2025), terlihat ada ratusan warganet yang berkomentar di unggahan akun Sri Mulyani. Rata-rata dari mereka mengritik wacana pemungutan pajak kepada pedagang di toko online.
"Nggak kasihan sama orang yang jualan di e-commerce Bu? Kena pajak lagi, dapat baru seberapa," kata akun @*han*y*8y, dikutip Kamis (26/6/2025). Kutipan sudah disesuaikan dengan ejaan yang benar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Netizen lainnya menyebut selama ini pedagang di toko online sudah dikenakan berbagai potongan oleh e-commerce. Oleh karena itu, wacana ini dinilai akan semakin memberatkan pedagang.
"Potongan di e-commerce sudah 13,5% itu diambil dari omzetnya, bukan keuntungannya. UMKM-UMKM kecil yang jualan di e-commerce sudah membantu membuka lapangan pekerjaan loh meskipun gajinya nggak sampai UMR. Kasihan kalau harus pada tutup tokonya kalau ketinggian potongannya jika harus ketambahan pajak. Tolong jangan ngerampok banyak-banyak UMKM kecil," tulis akun @*he*il.
Mengenakan pajak kepada pedagang di toko online juga dinilai bisa berdampak kepada naiknya harga-harga produk. Hal ini bisa menimbulkan efek domino saat daya beli sedang turun.
"Bu, Bu semua aja dipajakin, pikir dulu sebelum bertindak. Padahal berdagang di Shopee sudah kena pajak sama Shopee, eh ditambah pajak buat negara juga hadehh, pikir-pikir deh Bu, jangan asal ngambil keputusan yang membuat merugikan rakyat Bu," keluh akun @*km*aman*.
"Terus Bu miskin kan rakyat Indonesia, kayak nggak demen banget lihat rakyatnya sukses jualan online," kata akun @*rn*a_da.
Bukan Pengenaan Pajak Baru
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menekankan rencana ini bukan pengenaan pajak baru. Ketentuan ini hanya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.
"Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli dalam keterangan tertulis.
Rosmauli menyebut kebijakan ini akan memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan.
"Perlu dipahami bahwa pada prinsipnya pajak penghasilan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara online. Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar tersebut, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan," ucapnya.
Rosmauli menekankan UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tetap tidak dipungut pajak. Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp 500 juta per tahun tetap tidak dikenakan PPh dalam skema ini sesuai ketentuan yang berlaku.
"Tujuan utama ketentuan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan. Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru," jelasnya.
Selain itu, ketentuan ini bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy, khususnya dari pedagang online yang belum menjalankan kewajiban perpajakan baik karena kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administratif yang dianggap rumit.
Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata.
"Saat ini peraturan mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 masih dalam proses finalisasi di internal pemerintah. Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikannya secara terbuka, lengkap dan transparan kepada publik," tegasnya.
Berdasarkan sumber Reuters, pemerintah akan mewajibkan platform e-commerce memungut pajak sebesar 0,5% dari pendapatan penjual. Kriteria pedagang yang dikenakan pajak adalah mereka yang memiliki omzet di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun.
(aid/ara)