Sinyal Kuat RI Sedang Krisis Lapangan Kerja

Sinyal Kuat RI Sedang Krisis Lapangan Kerja

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 17 Jul 2025 08:04 WIB
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli memberikan sambutan dalam pembukaan bursa lowongan kerja Naker Fest Jakarta di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Jumat (13/12/2024). Kementerian Ketenagakerjaan menggelar bursa kerja tersebut menawarkan puluhan ribu lowongan dari perusahaan-perusahaan multinasional yang berlangsung hingga Sabtu (14/12). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/Spt.
Ilustrasi bursa kerja/Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Jakarta -

Fenomena minimnya lowongan kerja formal hingga antrean pelamar kerja yang semakin membludak untuk satu lapangan kerja terus terjadi beberapa waktu terakhir. Kondisi ini seolah menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia dilanda krisis lapangan kerja.

Sejumlah konten video hingga foto di media sosial dalam beberapa waktu terakhir viral, menampilkan antrean panjang di job fair maupun walk-in. Terbaru, antrean pelamar kerja terlihat mengular di kawasan Santiong, Cianjur, hanya untuk satu lowongan toko ritel.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan pada prinsipnya dunia usaha memiliki komitmen untuk menyerap tenaga kerja seluas-luasnya. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan adanya beberapa faktor krusial yang menimbulkan gap antara supply dan demand tenaga kerja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, RI sedang menghadapi fase yang kompleks, terutama di industri padat karya akibat dinamika geopolitik dan perlambatan global, pelemahan konsumsi di level domestik yang menekan permintaan produk manufaktur, hingga biaya berusaha yang tinggi.

"Indeks PMI Manufaktur Indonesia terakhir untuk bulan Juni 2025 tercatat turun menjadi 46,9 yang menandakan kontraksi sudah terjadi selama tiga bulan, mencerminkan industri yang semakin tertekan," kata Shinta, kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

ADVERTISEMENT

Kedua, akselerasi transformasi digital, otomasi, hingga teknologi artificial intelligence (AI) juga berkontribusi pada job displacement di level tertentu. Shinta juga melihat, penanaman modal semakin didominasi oleh investasi padat modal yang secara alamiah menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih terbatas.

Ini tercermin pada kecenderungan penurunan daya serap tenaga kerja. Shinta mencontohkan, bila tahun 2013 investasi Rp 1 triliun mampu menyerap lebih dari 4.500 tenaga kerja, sekarang di kuartal I 2025 hanya mampu menyerap 1.277 orang. Artinya, jenis pekerjaan konvensional yang dulunya padat karya, kini mulai berkurang.

"Tantangannya adalah bagaimana kita menyiapkan talenta yang upskilled dan reskilled agar dapat bermigrasi ke sektor-sektor baru yang lebih produktif dan sesuai dengan kebutuhan industri masa depan," ujarnya.

Ketiga, 'regulatory bottleneck' yang masih harus dibenahi bersama. Menurutnya, dunia usaha memerlukan iklim investasi yang benar-benar enabling dan pro-growth, agar ekspansi usaha dapat tercipta, dan memberikan multiplier effect pada penciptaan lapangan kerja baru.

"Jadi jika ditanya, apakah kondisi ini 'darurat'? kami lebih menyebutnya sebagai 'wake-up call'. Ini sinyal keras bahwa kita harus melakukan reformasi struktural di pasar kerja, menata ekosistem investasi, dan mendorong peningkatan employability tenaga kerja kita," kata Shinta.

Shinta juga mengingatkan bahwa kondisi ini bukan semata-mata sinyal 'darurat tenaga kerja', tetapi sebuah cerminan adanya mismatch struktural di pasar tenaga kerja kita. Jika tidak segera diintervensi secara tepat, berpotensi menekan daya saing nasional dalam jangka panjang.

Tonton juga video "Fenomena Lulusan Sarjana Jadi Sopir hingga ART, Ada Apa?" di sini:

Saksikan Live DetikPagi:

(shc/rrd)