APPBI Buka Suara soal 'Rojali' atau Rombongan Jarang Beli di Mal

APPBI Buka Suara soal 'Rojali' atau Rombongan Jarang Beli di Mal

Heri Purnomo - detikFinance
Minggu, 20 Jul 2025 16:30 WIB
Ilustrasi belanja di mal
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengakui bahwa fenomena rombongan jarang beli atau rojali di pusat perbelanjaan atau mall memang terjadi. Baik itu untuk kalangan kelas menengah bawah maupun kelas menengah atas.

Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja mengatakan fenomena rojali muncul sebagai dampak langsung dari penurunan daya beli. Kondisi ini mengakibatkan adanya perubahan pola belanja masyarakat.

"Ditengah kondisi daya beli yang masih belum pulih, masyarakat tetap berkunjung ke Pusat Perbelanjaan. Namun yang terjadi adalah perubahan pola belanjanya, dikarenakan uang yang dipegang relatif sedikit maka terjadi kecenderungan untuk membeli barang ataupun produk yang harga satuannya kecil atau murah," katanya saat dihubungi detikcom, Minggu (20/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Widjaja mengatakan bahwa fenomena rojali ini bukanlah hal baru, kondisi akan ada ketika ekonomi dan daya beli masyarakat yang menurun. Ia mengatakan kondisi ini pun terjadi hanya sementara dan akan kembali pulih ketika daya beli masyarakat meningkat.

"Fenomena rojali tidak berjumlah banyak dan hanya bersifat sementara dikarenakan adanya penurunan daya beli masyarakat," katanya.

ADVERTISEMENT

Untuk menyiasati fenomena ini, Widjaja mengatakan biasanya pengusaha akan menggencarkan program diskon yang dapat dinikmati oleh masyarakat dengan harga terjangkau.

"Sementara daya beli masih belum pulih maka Pusat Perbelanjaan dan peritel menggelar berbagai program promo belanja agar barang ataupun produk dapat tetap terjangkau bagi masyarakat, khususnya kelas menengah bawah," katanya.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, saat ini masyarakat berhati-hati membelanjakan uangnya di sepanjang semester I-2025, terutama kelas menengah atas.

"Tercermin di big data, jadi di big data kalau kita lihat trennya sejak awal tahun sampai Juni belum bagus. Company sudah oke terutama di beberapa sektor, tapi secara konsumen, terutama kelas menengah atas yang punya uang, mereka men-drive 70% konsumsi," tutur dalam acara Editors Briefing Bank Indonesia (BI) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Jumat (18/7/2025).

Kehati-hatian masyarakat dalam membelanjakan uangnya terlihat dari pengakuan pemasok barang mahal yang mengakui kondisi ini seperti krisis 2008.

"Saya melihat memang ada kehati-hatian. Saya perhatikan ketemu beberapa supplier luxury tas mereka merasakan, ada beberapa pemegang merek, ini kok mirip-mirip seperti krisis 2008," kata David.

Mereka cenderung memilih untuk menanamkan uangnya di sejumlah instrumen investasi. David melanjutkan, masyarakat kelas menengah kebanyakan 'memarkirkan' uangnya di instrumen investasi seperti deposito, giro, dan Surat Berharga Negara (SBN).

"Tapi dari sisi tenaga dalam besar lagi, sementara parkir dulu di instrumen investasi bunga 9% 8% giro, deposito, SBN lumayan tinggi, belum instrumen investasi lain. Emas digital, emas biasa, perhiasan. Investasi lagi menarik buat mereka, sementara mereka ke sana dulu," tutur David.

(kil/kil)

Hide Ads