Menjaga Daya Beli, Membuka Peluang: Merespons Hasrat Ekonomi di Tengah Tantangan Fiskal

Kolom

Menjaga Daya Beli, Membuka Peluang: Merespons Hasrat Ekonomi di Tengah Tantangan Fiskal

Rioberto Sidauruk - detikFinance
Selasa, 22 Jul 2025 10:18 WIB
Suasana pasar souvenir yang terlihat sepi di kawasan parkir IRTI, Monas, Jakarta, beberapa hari lalu. Lesunya pasar ritel ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Di tengah pusaran turbulensi global dan bayang-bayang 'Super Election Year' 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia diuji kemampuannya. Lebih dari sekadar cermin kesehatan fiskal, APBN kini adalah termometer vital yang mengukur ketahanan bangsa.

Meskipun berhasil meredam berbagai gejolak, ia kini berhadapan dengan ekspektasi masif: tak hanya menopang ambisi pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi, tetapi juga menyelesaikan persoalan struktural yang belum tuntas.

Fakta berbicara. Kementerian Keuangan melaporkan pada 15 Juli 2025 di Jakarta, pada Sidang Paripurna DPR RI untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2024, bahwa defisit APBN 2024 terkendali di 2,30% PDB, di bawah perkiraan awal 2,70%. Keseimbangan primer yang mendekati positif adalah indikator pengelolaan fiskal yang hati-hati-sebuah pencapaian di tengah ketidakpastian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pendapatan negara juga menunjukkan vitalitas, dengan penerimaan perpajakan melampaui target empat tahun berturut-turut. Ini memang hasil reformasi yang patut diapresiasi, namun pertanyaan besarnya, seberapa jauh tax ratio kita dapat ditingkatkan untuk kebutuhan pembiayaan ambisi masa depan?

Sinergi kebijakan fiskal dan moneter memang berhasil membawa pertumbuhan ekonomi 5,03% (yoy) di 2024, ditopang konsumsi rumah tangga (4.94% yoy) dan investasi (PMTB) (4.61% yoy). Inflasi akhir tahun pun terkendali di 1,6% (yoy), jauh di bawah asumsi. APBN memang tampil sebagai shock absorber efektif, meredam lonjakan inflasi pangan yang sempat menyentuh 10,3% pada Maret 2024.

ADVERTISEMENT

Namun, capaian ini juga harus dilihat secara kritis: apakah pertumbuhan tersebut telah merata dan berkelanjutan di semua sektor? Atau masih ada ketergantungan pada beberapa sektor kunci yang rentan gejolak?

Lalu, seberapa efektifkah capaian makroekonomi ini menembus lapisan kesejahteraan sosial? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan menjadi 9,03% pada Maret 2024 (dan 8,57% pada September 2024), dengan kemiskinan ekstrem nyaris nol (0,83%). Ini adalah narasi keberhasilan program perlindungan sosial.

Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah penurunan ini berkelanjutan secara struktural, atau masih sangat bergantung pada uluran tangan bansos yang rentan terhadap dinamika anggaran? Keakuratan data penerima, meski terus diperbaiki, tetap menjadi pekerjaan rumah besar.

Di balik rapor yang cukup memuaskan ini, sebuah tantangan fundamental dan mendesak membayangi: lautan angkatan kerja yang sangat besar dan kebutuhan mendesak akan lapangan kerja berkualitas. Meskipun data pemerintah mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun menjadi 4,91% pada Agustus 2024, angka ini masih menyisakan jutaan potensi yang belum teroptimalkan.

Di sinilah peran sentral APBN di tahun 2025-2026 tidak boleh lagi sekadar menjadi penyeimbang, melainkan harus bertransformasi menjadi mesin akselerator yang agresif, menopang hasrat Pemerintah Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi fantastis: 8%.

Lanjut ke halaman berikutnya

Pertumbuhan & Pekerjaan Layak

Mencapai pertumbuhan 8% bukan sekadar target angka, melainkan sebuah pertaruhan besar untuk menciptakan jutaan lapangan kerja layak dan berkualitas dalam skala masif. Ini menuntut APBN untuk lebih berani dan tepat sasaran dalam mendorong investasi dan program yang secara fundamental mentransformasi ekonomi.

Sektor industri strategis, misalnya, akan terus menerima dukungan-tetapi fokusnya harus lebih tajam. Bukan hanya sekadar investasi, melainkan investasi yang benar-benar menciptakan lapangan kerja di hulu hingga hilir, dari baterai kendaraan listrik hingga data center. Apakah insentif fiskal yang diberikan sudah optimal dan tidak kontraproduktif? Ini harus terus diawasi.

Tidak kalah krusial adalah pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta ekonomi kreatif. Mereka adalah pondasi ekonomi kerakyatan dan harapan utama penyerap tenaga kerja. APBN 2025-2026 harus menjadi katalisator sejati, bukan hanya sekadar penyalur.

Perluasan akses pembiayaan KUR, peningkatan kapasitas, dan perluasan akses pasar digital harus diiringi dengan pendampingan yang intensif dan berkelanjutan. Apakah program-program ini benar-benar menyentuh UMKM di akar rumput, atau hanya dinikmati segelintir yang sudah maju?

Peran Negara Penentu

Kesimpulannya, APBN 2025-2026 adalah instrumen strategis yang dihadapkan pada dilema besar dan ekspektasi tinggi, menuntut peran negara yang jauh lebih dari sekadar fasilitator. Negara harus menjadi arsitek utama yang merancang dan memastikan setiap elemen kebijakan fiskal bekerja sinergis untuk mencapai pertumbuhan 8% yang inklusif.

Ini bukan hanya tentang menjaga disiplin fiskal, tetapi tentang keberanian mengambil langkah akseleratif yang terukur, dengan fokus mutlak pada produktivitas, pemberdayaan, serta komitmen tak tergoyahkan untuk melindungi daya beli dan menciptakan lapangan kerja.

Jika negara gagal menjalankan peran penentu ini, risiko melesetnya target pertumbuhan dan menumpuknya persoalan sosial akan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. APBN, pada akhirnya, adalah cerminan tekad kolektif untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, seiring dengan ambisi besar bangsa ini.

Namun, jalan menuju sana tidaklah mudah, dan setiap rupiah APBN harus dipertanggungjawabkan dengan transparansi dan efektivitas maksimal.


Rioberto Sidauruk
Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI



Simak Video "Video: Tanggapan Kemenkop UKM soal Daya Beli Masyarakat ke UMKM Turun"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads