Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti masalah yang saat ini dihadapi petani di Indonesia dalam menjalankan budidaya kakao.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Panggah Susanto mengungkapkan perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi rendahnya produksi kakao Indonesia.
Hal tersebut ia sampaikan pada kunjungan Komisi IV ke Cau Cocolate di Kabupaten Tabanan, Bali, Senin, 21 Juli 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panggah menegaskan, kurangnya daya tarik Petani,khususnya petani dari generasi muda melakukan budidaya Kakao menurutnya karena mereka merasa tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai.
"Permasalahan kakao di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Salah satu alasan mengapa petani kurang tertarik melakukan budidaya kakao karena mereka tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai," ujar dia dalam siaran pers, ditulis Selasa (22/7/2025).
Panggah mengungkapkan, produktivitas rata2 kakao di Indonesia masih tergolong rendah yaitu sekitar 800 kg/hektare, jauh dari produjtivitas maksimalnya yakni sebesar 2 ton.
"Hal ini seharusnya tidak perlu menjadi wacana berulang. Yang diperlukan adalah gerakan konkret untuk mencapai target maksimal tersebut," tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait masalah standard fermentasi kakao. Kata dia, masalah engganya petani melakukan fermentasi biji kakao yaitu krn petani memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi. Selisih harga sekitar Rp2000/kg dibandingkan harga non-fermentasi atau asalan, tdk cukup menarik, padahal yg diminta standard internasional adalah fermented cacao.
"Pemenrintah mesti membantu petani, krn napas petani kita cekak (pendek), mereka memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi meski dari standar mutunya adalah yang difermentasi," ungkap Panggah.
Panggah juga menyoroti terkait masalah hirilisasi. Ia mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan para petani adalah teknologi pengolahan yang memadai untuk meningkatkan nilai tambah produk turunan cokelat sangat beragam.
"Dalam hal ini diperlukan peran sektor industri, maka harus ada sinergi yang baik antara sektor perkebunan dan sektor industri, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sektor perkebunan, karena kalau tidak ada sinergi akan jadi mentok. Hilirisasi ini berada dalam rezim industri," jelasnya.
Karena itu, ia menekankan perlu ada sinergitas erat antara sektor perkebunan dan industri.
"Jika tidak ada kolaborasi yang kuat, upaya hilirisasi akan sulit berjalan. Saya kira tidak perlu terlalu banyak dibahas, yang terpenting adalah dikerjakan," pungkasnya.
(kil/kil)