Dorongan penataan layanan Over-The-Top (OTT) asing seperti WhatsApp, YouTube, dan Netflix di Indonesia makin menguat.
Sejumlah asosiasi telekomunikasi nasional kompak menyuarakan perlunya regulasi yang adil, wajar, dan tidak diskriminatif demi menjaga keberlanjutan ekosistem digital Tanah Air. Mereka menegaskan, ini bukan bentuk pembatasan layanan, melainkan langkah untuk melindungi kepentingan nasional dan publik.
Selama ini, OTT asing mengandalkan infrastruktur telekomunikasi milik operator lokal untuk beroperasi di Indonesia, tapi tidak memberikan kontribusi finansial atau teknis dalam menjaga performa jaringan. Padahal, trafik internet terbesar justru berasal dari layanan-layanan OTT global tersebut. Akibatnya, beban peningkatan kapasitas dan pemeliharaan jaringan ditanggung penuh oleh operator nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Sarwoto Atmosutarno, menegaskan bahwa penataan OTT adalah amanat regulasi yang sudah tertuang dalam aturan pemerintah. "Penerapan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif terhadap OTT adalah amanat regulasi, bukan tindakan pembatasan," ujar Sarwoto dalam keterangan tertulis, Selasa (29/7/2025).
Ia merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), khususnya Pasal 15 ayat (1), yang mewajibkan pelaku usaha, termasuk asing, untuk menjalin kerja sama dengan penyelenggara jaringan berdasarkan prinsip keadilan. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam PM Kominfo Nomor 5 Tahun 2021.
Sarwoto juga menyoroti minimnya perlindungan konsumen saat terjadi gangguan layanan OTT. "Masyarakat menikmati layanan gratis dari OTT, tapi kalau ada gangguan seperti WhatsApp error, mereka tidak punya ruang untuk protes atau mendapat jaminan kualitas," tambahnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, menyampaikan hal senada. Ia menilai OTT asing menikmati keuntungan besar di Indonesia tanpa kontribusi yang sepadan terhadap operator maupun negara. "Beban bandwidth dan infrastruktur ditanggung penuh oleh penyelenggara lokal, padahal trafik terbesar dari OTT global," ujarnya.
Ketua Umum APJATEL, Jerry Mangasas Swandy, juga menegaskan bahwa keadilan penggunaan jaringan harus ditegakkan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang sudah mengenakan biaya penggunaan jaringan (network usage fee) kepada Netflix sebagai bentuk tanggung jawab atas trafik tinggi di jaringan domestik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O Baasir, menyebut tekanan terhadap operator terus meningkat karena layanan OTT seperti panggilan suara dan video internet makin mendominasi. "Kalau OTT bayar, maka ada jaminan kualitas layanan bahkan refund. Tapi tanggung jawab itu harus datang dari OTT, bukan operator," tegasnya.
Ketua Umum APNATEL, Triana Mulyatsa, bahkan menyebut dominasi OTT asing sebagai ancaman terhadap kedaulatan digital Indonesia. Menurutnya, banyak negara lain seperti Kenya, Vietnam, Uni Eropa hingga Australia sudah mewajibkan OTT asing untuk membayar pajak, mendirikan badan hukum lokal, dan mengikuti mekanisme bagi hasil. "Indonesia tidak boleh tertinggal dalam menegakkan kedaulatan digitalnya sendiri," katanya.
Berbagai asosiasi seperti MASTEL, APJII, APJATEL, dan APNATEL sepakat mendesak pemerintah untuk segera menata ekosistem digital nasional dengan regulasi yang menjamin kontribusi OTT terhadap pembangunan infrastruktur dan perlindungan konsumen. Mereka tak ingin Indonesia hanya jadi pasar, tetapi punya posisi kuat dan berdaulat di dunia digital global.
Tonton juga video "ASSI Minta Pemerintah Perketat Regulasi Operator Satelit Asing di Indonesia" di sini:
(rrd/rrd)