Ekonomi Rusia Terancam Resesi, Kini Malah Dihantam Tsunami

Ekonomi Rusia Terancam Resesi, Kini Malah Dihantam Tsunami

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Rabu, 30 Jul 2025 13:03 WIB
Sejumlah toko berbagai merek asing tutup dan tak beroperasi di kota-kota Rusia. Diketahui, hal itu dilakukan sebagai bentuk kritik atas invasi Rusia ke Ukraina.
Foto: AP Photo
Jakarta -

Gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 8,7 melanda Semenanjung Kamchatka Timur Jauh Rusia. Setelahnya, gelombang tsunami setinggi 3-4 meter ikut menyapu wilayah tersebut.

Bencana alam ini terjadi saat negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu tengah berjuang melawan kemerosotan ekonomi imbas pengenaan sanksi dari sejumlah negara di dunia.

Melansir BBC, Rabu (30/7/2025), sejak berperang melawan Ukraina pada 2022 lalu, Rusia menjadi negara yang paling banyak mendapat sanksi di dunia. Walau hingga 2024 kemarin sanksi yang diberikan belum cukup membuat ekonomi Negeri Beruang Merah itu jatuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab hingga 2024 kemarin, pertumbuhan ekonomi Rusia masih melampaui ekonomi semua negara maju yang tergabung dalam G7 yakni Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS. Di mana ekonomi Rusia tercatat tumbuh sebesar 4,3% pada tahun lalu, dibandingkan dengan Inggris yang berada di 1,1% dan pertumbuhan ekonomi AS yang hanya 2,8%.

Pertumbuhan ekonomi Rusia ini dipimpin oleh rekor pengeluaran militer Kremlin. Lalu ekspor minyak negara itu, juga tetap relatif stabil berdasarkan volume karena pasokan yang tadinya ditujukan ke Eropa telah dialihkan ke China dan India.

ADVERTISEMENT

Namun inflasi terus melonjak tinggi, suku bunga juga sudah naik hingga 20%, dan perusahaan-perusahaan Rusia kesulitan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Membuat pergerakan ekonomi di negara itu sangat rentan.

Bahkan pada Juni 2025 kemarin, Menteri ekonomi Rusia memperingatkan bahwa negara tersebut tengah berada di ambang resesi. Kemudian beberapa pengamat juga memperkirakan ekonomi Rusia akan menuju kehancuran.

"Secara keseluruhan, situasinya akan cukup tidak nyaman hingga akhir tahun 2026, dan pasti akan ada gagal bayar dan kebangkrutan," kata seorang ekonom yang berbasis di Moskow, Yevgeny Nadorshin.

Namun, ia memperkirakan kemerosotan itu tidak akan separah yang diberitakan oleh negara-negara barat dan menyebut setiap dugaan kehancuran ekonomi Rusia sebagai kebohongan.

Nadorshin menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Rusia saat ini berada pada rekor terendah 2,3%, dan kemungkinan akan mencapai puncaknya hanya di 3,5% pada 2026 mendatang. Sebaliknya, tingkat pengangguran di Inggris mencapai 4,6% per April 2025 ini.

Meski begitu, ia dan ekonom lainnya tetap merasa khawatir, karena Rusia tampaknya telah memasuki periode stagnasi. Di mana laju inflasi sudah mencapai 9,9% per April 2025, sebagian disebabkan oleh sanksi Barat yang menaikkan harga impor.

Di saat yang bersamaan Rusia tengah kekurangan pekerja dan membuat upah naik tinggi. Pada akhir tahun 2024, negara itu diperkirakan kekurangan sekitar 2,6 juta pekerja yang sebagian besar disebabkan oleh banyaknya laki-laki ikut pergi berperang atau malah melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari konflik tersebut.

"Bank sentral menaikkan suku bunga ke level rekor tahun ini untuk mencoba dan mengendalikan kenaikan harga, tetapi hal ini membuat perusahaan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengumpulkan modal yang mereka butuhkan untuk berinvestasi," jelas BBC berdasarkan keterangan para ekonom.

Sementara itu, pendapatan minyak dan gas Rusia turun akibat sanksi dan melemahnya harga. Hal ini mengakibatkan defisit anggaran yang semakin besar, sehingga negara memiliki lebih sedikit dana untuk dibelanjakan pada infrastruktur dan layanan publik.

Tonton juga video "Rumah-rumah di Rusia Hanyut Dihantam Tsunami" di sini:

(igo/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads