Daya beli masyarakat Indonesia disebut-sebut terus melemah. Sinyal penurunan daya beli ini bisa dilihat dari perubahan perilaku masyarakat sehari-hari. Sebut saja bagaimana banyak orang kini cuma datang ke mal hanya untuk 'cuci mata', tidak atau sedikit berbelanja.
Bahkan fenomena Rojali alias rombongan jarang beli dan Rohana atau rombongan hanya nanya makin sering terlihat di mal dan gerai-gerai besar. Belum lagi ada Roh Halus alias rombongan hanya ngelus-ngelus yang datang ke mal untuk melihat-lihat barang, namun melakukan pembelian di toko online karena harganya cenderung lebih murah.
Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, melihat salah satu sinyal penurunan daya beli yang paling nyata adalah bagaimana orang kini semakin cermat dan hemat dalam mengatur pengeluaran-bahkan untuk urusan makan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, banyak pekerja yang kini lebih memilih membawa bekal dari rumah atau membeli makanan di tempat yang lebih murah untuk dibawa ke kantor. Makan langsung di restoran, apalagi di dalam mal, mulai dianggap sebagai kemewahan yang harus ditekan.
"Ujung-ujungnya karena memang mereka nggak punya dana. Harga yang ditawarkan lebih mahal dari kemampuan mereka. Harga makanan di mal itu kan selisihnya jauh dibanding kalau kita bawa sendiri dari rumah," ujar Tauhid kepada detikcom, Jumat (1/8/2025).
"Misalnya, ayam goreng di mal saja bisa Rp 30.000-40.000, sementara di warung dekat rumah cuma Rp 15.000 sudah kenyang. Itu kan beda banget," tambahnya.
Belum cukup hanya dengan membawa bekal, ia berpendapat sebagian masyarakat Indonesia kini juga mulai mengurangi untuk berbelanja secara kredit. Menunjukkan bagaimana mereka sedang kurang percaya diri bisa membayar cicilan belanjaannya.
"Tren orang untuk menggunakan kredit turun. Laju kredit perbankan kemarin kan sudah 7%, 8% paling tinggi. Kalau normal itu sudah 12-13% laju kreditnya. Jadi orang untuk rate konsumsi juga turun. Orang nggak berani untuk pinjam untuk beli apapun," paparnya.
Tidak hanya irit belanja, menurut Tauhid penurunan daya beli ini juga terlihat dari pelemahan laju simpanan masyarakat. Khususnya untuk simpanan di bawah Rp 100 juta milik masyarakat kelas menengah. Sebab, meski sebagian orang sudah mulai irit pengeluaran sampai membawa bekal, sisa dana yang dapat ditabung malah semakin kecil.
"Laju simpanan, terutama simpanan yang di bawah Rp 100 juta, ini kan kelas menengah banget, itu semakin kecil, semakin rendah. Nah itu menunjukkan memang daya beli mereka tertekan," jelas Tauhid.
Penurunan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta atau milik kelas menengah ini juga terlihat dari data milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di mana jumlah nominal simpanan di bawah 100 juta terkontraksi sebesar 0,9% per Mei 2025.
Padahal secara keseluruhan, pada periode tersebut total nominal simpanan Bank Umum (BU) mencapai Rp 109 triliun. Angka ini tercatat meningkat terbatas sebesar 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya (MoM).
Usut punya usut, ternyata kenaikan jumlah tabungan masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi oleh mereka orang-orang kaya alias kalangan atas. Sebab nominal simpanan hingga di bawah Rp 5 miliar naik cukup tinggi mencapai 1%.
"Berdasarkan tiering simpanan, nominal simpanan terbesar berada pada simpanan di bawah Rp 5 miliar dengan porsi 54,5% dari total simpanan. Kenaikan tertinggi dicatat kelompok tersebut yang tumbuh 1% MoM," jelas LPS dalam Ringkasan Eksekutif Distribusi Simpanan Bank Umum Mei 2025 yang baru diterbitkan bulan ini.
"Sementara kontraksi terbesar terjadi pada tier simpanan di bawah Rp 100 juta sebesar 0,9%," sambung lembaga itu.
Lebih lanjut, untuk total rekening simpanan Bank Umum bulan Mei 2025 mencapai 626,76 juta rekening. Jumlah ini tercatat meningkat 0,7%. Berdasarkan tiering simpanan, jumlah rekening pada tier simpanan di bawah Rp 100 juta ini mencakup 98,9% dari total rekening simpanan masyarakat. Jumlah rekening kelompok tier ini naik 0,8% (MoM).
Lihat juga Video: 9 Juta Lebih Kelas Menengah Jatuh Miskin. Apa Efeknya Bagi Negara?