Ekonom Buka Suara soal Kasus Tom Lembong dan Dampaknya buat Ekonomi

Ekonom Buka Suara soal Kasus Tom Lembong dan Dampaknya buat Ekonomi

Ilyas Fadilah - detikFinance
Sabtu, 02 Agu 2025 12:02 WIB
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong melambaikan tangan saat keluar dari  Rutan Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Tom Lembong bebas dari proses hukum yang sedang ia jalani setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar
Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, Thomas Lembong.Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Jakarta -

Ekonom Didik J Rachbini menyoroti kasus yang menimpa Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden ke-7 Joko Widodo. Thomas, yang dipanggil Tom, sebelumnya terjerat korupsi izin impor gula 2015, lalu mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

Didik yang juga Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, hukum yang lemah, tidak adil, tidak konsisten, atau mudah diintervensi kekuasaan serta dipolitisasi dapat memberikan dampak negatif serius terhadap perekonomian nasional.

"Hukum yang buruk akan menyebabkan biaya transasi meningkat, mahal dan berakibat terhadap, biaya investasi meningkat dan tidak efisien. Biaya transaksi adalah biang kerok atau bahkan setan buruk di dalam, ekonomi dan dunia bisnis, yang sering muncul dari sistem hukum yang buruk," ujar Didik dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menegaskan hukum adalah faktor kepastian dan ketidakpastian di dalam ekonomi, khususnya investasi. Dalam kaitannya dengan investasi, hukum yang mudah diintervensi bisa menurunkan kepercayaan investor.

ADVERTISEMENT

"Beberapa argumen dan penjelasannya sangat gamblang, yakni menurunkan kepercayaan Investor dan negara dengan kepastian hukum yang labil dan buruk muka akan dihindari oleh investor. Kalangan bisnis dan semua Investor, baik domestik dan maupun asing, pasti sangat memerlukan kepastian hukum," jelas Didik

Jika sistem hukum tidak bisa menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa dengan adil, atau bebas dari intervensi politik, maka investor enggan menanamkan modal karena akan berakibat risiko berat, rugi dan bahkan bangkrut.

Didik menilai praktik kriminalisasi hukum karena intervensi politik terjadi pada semua regim. Kasus Tom Lembong menjadi contoh bagaimana lawan politik dicari-cari kesalahannya hingga terseret kasus hukum.

Padahal terdapat moto suci dalam dunia hukum 'Lebih baik membebaskan orang yang salah daripada menghukum orang yang benar'. Namun prinsip tersebut tak lagi dihiraukan.

"Praktik kriminalisasi hukum karena intervensi politik terjadi pada semua regim, tetapi sangat vulgar pada masa Jokowi. Kasus Tom Lembong ada indikasi kuat intervensi kekuasaan terhadap hukum, yang merupakan warisan Jokowi," terang Rektor Universitas Paramadina itu.

"Prinsip ini adalah keadilan paling mendasar di dalam dunia hukum tetapi dibuang di tong sampah oleh pemimpin-pemimpin, yang juga lahir dari demokrasi. Yang ada sekarang, seperti kasus Tom Lembong, jika mereka lawan politik, kesalahan dicari-cari, seperti pada kasus pilpres yang lalu. Politik kemudian menjadi anasir jahat di dalam demokrasi," sambungnya.

Hukum yang buruk akan menyebabkan biaya transaksi meningkat, mahal dan berakibat terhadap, biaya investasi meningkat dan tidak efisien. Biaya transaksi adalah biang kerok atau bahkan setan buruk di dalam, ekonomi dan dunia bisnis, yang sering muncul dari sistem hukum yang buruk.

Hukum yang buruk, tidak efisien dan tidak dapat diandalkan bagi kepastian usaha akan menambah beban dunia usaha dan ekonomi nasional. Prosedur hukum yang berbelit, panjang dan tidak jelas sangat besar pengaruhnya terhadap ekonomi. Mekanisme penyelesaian hukum dan sengketa menjadi mahal.

"Di dalam sistem hukum yang buruk, efisiensi ekonomi menurun dan bahkan rusak sama sekali. Contoh ekstrem adalah negara-negara dengan sistem hukum yang lemah cenderung jatuh dalam jebakan negara gagal (failed state) atau negara predatoris, yang menjadikan ekonomi hanya alat penghisapan oleh elite kekuasaan," tuturnya.

(ily/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads