Sebentar lagi perayaan Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 akan menggema di seantero negeri. Bendera dan umbul-umbul telah mulai memeriahkan sepanjang jalanan, di komplek, di desa-desa, dan di kota.
Kegembiraan menyambut perayaan hari jadi republik ini biasanya disertai dengan beragam lomba 17-an, dari mulai panjat pinang, pukul bantal, lari karung, makan kerupuk, dan segala macam pernak-pernik lomba lainnya. Hadiah-hadiah besar pun tak kalah seringkali ikut menghiasi perayaan HUT RI setiap tahunnya.
Nah, pertanyaannya apakah perayaan-perayaan ini memang layak dan sudah menjadi sinyal bahwa ekonomi negeri ini cenderung membaik? Bisa jadi iya. Bisa juga tidak. Mari kita bahas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena Rojali-Rohana-Rohalus-Rohali di Mal: Paradoks Hiburan Rakyat
Apakah kemeriahan merayakan hari kemerdekaan sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi negara kita? Mungkin. Namun belakangan ada satu fenomena unik, sebutan Rojali (rombongan jarang beli), Rohana (rombongan hanya nanya-nanya), dan Rohalus (rombongan hanya elus-elus), Rohali (rombongan hanya lihat-lihat), dan sederet sebutan unik lainnya sedang hype di media sosial.
Fenomena ini rupanya mendapat perhatian dari sejumlah kalangan, termasuk beberapa ahli ekonomi. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rombongan di atas adalah dari kalangan kelas menengah dan ke bawah (detik.com, 25/7/2025).
Sementara, Ketua Dewan Komisioner OJK menilai bahwa fenomena ini adalah bentuk dari ketidakpastian ekonomi yang saat ini memang terjadi, sehingga masyarakat cenderung menahan diri untuk berbelanja (finance.detik.com, 4/8/2025).
Ini dapat menjadi sinyal bahwa telah terjadi pelemahan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat, karena kunjungan mereka ke pusat-pusat perbelanjaan tidak disertai dengan transaksi ekonomi yang sepadan.
Namun, sebuah paradoks justru terjadi kala konser-konser musik atau pertunjukan dan semacamnya malah lebih ramai. Yang bisa jadi diisi sebagian besar oleh kalangan ekonomi menengah dan ke bawah ini. Maka, kita perlu mewaspadai gejala pelemahan ini.
Mengapa untuk berbelanja mereka enggan, tapi untuk nonton konser dan semacamnya mereka dengan ringan membongkar tabungan mereka? Apakah ini menandakan bahwa masyarakat butuh hiburan? Bahkan ketika mereka ini yang notabene kalangan masyarakat menengah dan ke bawah tadi, sedang jalan-jalan di mal itu bisa jadi adalah juga sebuah hiburan dan liburan.
Jebakan Pinjol Masih Merajalela: Waspada, Penggerus Ekonomi Rakyat
Di sisi lain, pinjol masih dan terus merajalela menghantui rakyat negeri ini. Jebakan pinjol yang banyak merenggut nyawa rupanya tak serta-merta membuat masyarakat jadi jera.
Justru saat ini, utang pinjol di kalangan masyarakat Indonesia sudah tembus lebih dari Rp83 triliun atau tumbuh lebih dari 25% dibanding tahun 2024 lalu (finance.detik.com, 5/8/2025). Apakah ini merupakan sebuah sinyal baik untuk ekonomi? Perlu kita cermati terlebih dahulu.
Ketika outstanding pinjaman online sangat banyak beredar di masyarakat, dapat dikatakan bahwa masyarakat kita cenderung menyenangi uang instan atau easy money. Kemudahan dari pemrosesan persyaratan pinjol, iming-iming bunga ringan harian -yang kalau ditotal secara bulanan sebenarnya tetap saja besar-, adalah jebakan betmen yang perlu diwaspadai masyarakat.
Bukan hanya mengenai besaran uang instan yang diterima, tetapi juga pada konteks untuk apa uang itu dipergunakan. Jika easy money yang diperoleh dari pinjol dimanfaatkan untuk modal usaha misalnya, itu masih relatif mending.
Setidaknya ada aliran kas dari hasil usaha yang bisa menutupi utang pinjolnya. Namun, jika uang pinjol hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak tepat, seperti membeli barang "keinginan" dan bukan "kebutuhan" misalnya gawai merk dan model terbaru, atau bahkan ada sebagian masyarakat juga terkena dobel jebakan betmen berupa judi online atau game online yang menguras isi dompet, maka ini yang perlu menjadi sinyal waspada dan alarm bahaya.
Uang instan yang diperoleh yang seharusnya bisa untuk menutupi kebutuhan hidup atau bahkan sebagai tambahan modal usaha, justru semakin habis dan bahkan ikut menggerogoti asset pribadi lainnya. Mengerikan.
Dengan semakin mudahnya akses masyarakat pada ketiga hal ini (pinjol, judol, dan game online), maka bukan tidak mungkin ekonomi masyarakat juga akan semakin tergerus.
Tidak hanya inflasi atau ketidakpastian ekonomi serta perang global saja yang perlu menjadi perhatian, akan tetapi tabiat dan kebiasaan masyarakat yang gemar menggunakan easy money dan justru menggunakannya secara serampangan untuk memenuhi ego-nya, itulah salah satu fenomena yang harus menjadi alarm bahaya untuk ekonomi kita.
Utang Luar Negeri yang juga Perlu Menjadi Perhatian
Sampai dengan Mei 2025 lalu, utang luar negeri kita sudah mencapai lebih dari Rp7 ribu tirliun (detik.com, 14/7/2025). Jika diamati dalam 3 tahun terakhir ini utang luar negeri Indonesia cenderung mengalami tren peningkatan id.tradingeconomics.com). Sementara itu, rasio pembayaran utang (debt-to-service ratio) RI saat ini telah berada pada titik 39 persen.
Hal ini merupakan salah satu alarm penting, karena bisa jadi pemerintah mulai berada pada mode gali lubang tutup lubang (tempo.co, 26/4/2024). Utang baru yang didapatkan bukan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, namun untuk membayar dan menutupi bunga utang lama.
Alokasi anggaran pada postur APBN untuk membiayai bunga utang pada tahun 2025 ini mencapai lebih dari Rp550 triliun atau sekira 19 persen dari penerimaan negara yang diproyeksikan pada tahun 2025 ini sebesar Rp2.865,5 triliun (94,5% dari target). Walaupun pemerintah menyatakan bahwa kepercayaan global terhadap prospek ekonomi Indonesia masih terjaga di tengah ketidakpastian perekonomian global, namun tetap saja utang luar negeri yang tinggi perlu mendapat perhatian lebih.
Dalam sebuah penelitian, Nuryartono, dkk (2024) menyatakan bahwa utang luar negeri perlu dibatasi dan penggunaannya pun harus diprioritaskan pada sektor-sektor produktif yang berujung pada dorongan pertumbuhan ekonomi. Menurut Nuryantoro, dkk, krisis ekonomi 1997/1998 adalah akibat dari ketidakhati-hatian pemerintah dan swasta dalam mengelola utang luar negeri (repository.ipb.ac.id).
Pada konteks tersebut, Sari (2014) menyatakan bahwa pemerintah bisa menempuh beberapa jalan untuk mengurangi kecenderungan utang luar negeri yang terus bertambah, yaitu (1) membatasi pinjaman baru, terutama fokus pada pembangunan produktif pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan;
(2) meningkatkan penerimaan negara secara lebih signifikan; (3) sinergi antar BUMN dalam pembangunan sehingga dapat mengurangi ketergantungan investasi asing; (4) pengelolaan utang dengan berbagai skema seperti debt rescheduling, debt swap, dan hair-cut (bekas.dpr.go.id).
Keempat langkah ini tentu memerlukan keseriusan dari segenap lapisan, tidak hanya pemerintah tetapi juga swasta, karena semuanya pasti tidaklah mudah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor biaya menjadi prioritas utama sebagai kriteria dalam pemilihan strategi utang luar negeri pemerintah. Berikutnya adalah resiko, term&conditions, dan politik. Pengalihan utang luar negeri ke utang domestik diharapkan akan mendorong perkembangan pasar domestik dan menurunkan resiko nilai tukar (Nuryantono, dkk. 2024).
Oleh: Muhammad Nur
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja.
Simak juga Video: Arti Dibalik Logo HUT RI Ke-80 Langsung dari Pembuatnya
(hns/hns)