Kewajiban membayar royalti atas pemutaran musik di tempat usaha tengah jadi perbincangan panas. Polemik mencuat usai seorang pengusaha waralaba Mie Gacoan di Bali ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran hak cipta. Namun di tengah hiruk-pikuk ini, pengusaha pusat perbelanjaan justru memberikan perspektif berbeda.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyebut pengelola mal justru termasuk yang paling tertib dalam membayar royalti musik. Menurutnya, musik adalah elemen penting yang menunjang kenyamanan pengunjung, namun hak para pencipta lagu juga harus dihormati.
"Royalti musik di pusat perbelanjaan saya kira bukan sesuatu yang baru. Kami bahkan adalah salah satu asosiasi yang mendapat penghargaan dari Pak Menteri Hukum dan HAM waktu itu Pak Yasonna sebagai asosiasi yang teraktif membayar royalti," ujar Alphonzus saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan, royalti tidak hanya berlaku pada lagu, tapi juga atas produk-produk yang dijual di mal. Selama ini, pengelolaan royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berdasarkan Permenkumham No. 36/2018, PP No. 56/2021, dan Permenkumham No. 9/2022.
Meski demikian, Alphonzus menilai masih banyak celah dalam regulasi tersebut. Ia menyoroti pentingnya akurasi dalam mendata lagu yang diputar, termasuk siapa penciptanya. Teknologi saat ini dinilai belum mampu mengidentifikasi secara detail pemilik karya yang digunakan.
"Sekarang ini kan ada dua sisi, pertama adalah bagaimana memastikan lebih akurat lagi, pusat perbelanjaan tersebut memutar lagu ciptaan siapa saja. Memang teknologinya sekarang belum sampai ke situ, sekarang ini kan masih blended, masih global. Saya kira ini satu tantangan bagi kita semua," jelasnya.
Hal lain yang juga dinilainya perlu dibenahi adalah mekanisme pembagian royalti kepada para musisi. Alphonzus menyebut dua persoalan ini menjadi akar dari perdebatan panjang seputar royalti musik di Indonesia.
"Saya kira dua hal inilah yang sekarang selalu menjadi perdebatan secara nasional, tetapi saya kira kita harus perbaiki semua ini, kita harus sempurnakan. APPBI meyakini bahwa ini harus dimulai. Makanya kami tetap melakukan pembayaran sejak awal meskipun pelaksanaannya masih belum sempurna," ungkapnya.
Polemik royalti musik mencuat setelah pemegang lisensi Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia dianggap bertanggung jawab atas penggunaan musik secara ilegal di gerainya. Perhitungan kerugian berdasarkan jumlah kursi dan outlet membuat nilainya tembus miliaran rupiah.
Dari sisi pelaku usaha F&B, keresahan juga muncul. Marketing Manager Middle Child, Billy Oscar, mengaku sosialisasi dari LMKN belum terasa. Ia menyesalkan bahwa surat teguran bisa datang tiba-tiba tanpa komunikasi lebih dulu.
"Jadi kalau baru dia beredar di sosmed aja dan undang-undang aja, tapi kalau sosialisasi atau seperti buat kayak event dikumpulkan pemain bisnis FnB itu belum ada. Cuma mungkin kadang-kadang tiba-tiba dengan UU yang sudah beredar tiba-tiba datang surat teguran atau tagihan. Itu yang sangat disayangkan jadi sisi pelaku usaha," ujar Billy.
Simak juga Video 'Tak Putarkan Lagu, Kafe di Jaksel Ini Sediakan Headphone untuk Pelanggan':
(shc/rrd)