LPS: Global Hancur pun, RI Masih Bisa Tumbuh Asal Tahu Cara Kelola

LPS: Global Hancur pun, RI Masih Bisa Tumbuh Asal Tahu Cara Kelola

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Kamis, 07 Agu 2025 13:25 WIB
Jakarta -

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai ekonomi Indonesia akan tetap kuat dan berdaulat di tengah ketidakpastian global. Namun hal ini hanya dapat terlaksana jika pemerintah dan sektor swasta bekerja sama.

Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, pada awalnya menjelaskan kondisi ekonomi dunia tengah menghadapi ketidakpastian. Kondisi ini tercermin dari prediksi pertumbuhan ekonomi global yang dikeluarkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF).

Ia mengingatkan masyarakat khususnya para ekonom untuk tidak terlalu terpengaruh oleh laporan-laporan prediksi ekonomi dunia hingga regional lembaga keuangan internasional itu. Terlebih jika pemerintah dan sektor swasta tahu betul arah pertumbuhan ekonomi nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum lagi menurutnya ketidakpastian global adalah keniscayaan sebab setiap tahun selalu terjadi, yang menjadi pembeda hanya penyebab dan imbasnya terhadap ekonomi Indonesia.

"Boleh saja kita pegang prediksi ekonomi dunia, ahli-ahli ekonomi dunia untuk melihat kira-kira kemana sih. Tapi jangan takut-takut amat selama kita tahu apa yang kita kerjakan," kata Purbaya dalam acara LPS Financial Festival 2025, di Surabaya, Kamis (7/8/2025).

ADVERTISEMENT

"Waktu di Komite Ekonomi Nasional, kita setiap tahun bikin laporan ekonomi. Pasti judulnya tumbuh di tengah ketidakpastian dunia, bertahan di tengah ketidakpastian dunia, tetap tumbuh walaupun dunia jatuh. Lama-lama saya pikir, 25 tahun terakhir di membahas ekonomi itu setiap tahun pasti ada ketidakpastian. Jadi Anda nggak usah takut tentang ketidakpastian global, itu selalu ada. Tapi tergantung kita, pintar-pintarnya kita, menentukan arah ekonomi kita sendiri," sambungnya.

Terlepas dari kondisi ekonomi global itu, Purbaya menekankan bahwa secara umum ekonomi Indonesia sebagai besar didorong oleh pertumbuhan domestik. Hal ini terlihat bahkan dari data pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2025 ini.

Dalam hal ini ia memaparkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas didorong oleh konsumsi dalam negeri yang mencapai 62% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lalu faktor pendorong kedua terbesar lainnya adalah penanaman investasi di Tanah Air, yang jika digabung dengan konsumsi nasional menyumbang sekitar 89% ekonomi Indonesia.

"Rasio ekonomi kita terhadap ekonomi total, konsumsinya domestik 62%, rumah tangga 54%, investasi 27%, ekspor cuma 22%. Kalau kita hitung domestik demand itu konsumsi ditambah investasi, 62% tambah 27%, itu sudah hampir 90%. Jadi kalau global hancur pun, selama kita tenang, selama kita tahu bagaimana manajemen ekonomi domestik, kita masih bisa akan tumbuh. Nggak usah takut," jelasnya.

Purbaya mengatakan ketangguhan ekonomi domestik Indonesia, tidak banyak terpengaruh oleh kondisi global ini terbukti saat krisis 'Great Recession' pada 2007-2009 lalu. Di mana saat itu perekonomian banyak negara di dunia mengalami resesi hebat, namun Indonesia masih bisa tumbuh positif.

"Itu pernah kita alami. Di tahun 2009, waktu global economic meltdown, seluruh negara di sekeliling kita tumbuhnya negatif. Amerika, Eropa, Jepang, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, semua jatuh juga negatif. Kita tumbuh berapa? Kita tumbuh 4,6%. Dengan cara apa? Me-manajemen domestik demand," tegas Purbaya.

Meski begitu ia mengingatkan dalam 20 tahun terakhir, ekonomi nasional selalu tumbuh pincang. Di mana selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pertumbuhan didorong oleh sektor swasta. Sementara 10 tahun sisanya selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ekonomi nasional sebagian besar didorong oleh pemerintah.

Oleh karena itu, Purbaya menyebut ekonomi Indonesia bisa tetap tumbuh kuat di tengah ketidakpastian global selama pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja sama dalam membangun negeri. Dengan begitu pendorong ekonomi nasional tidak lagi 'pincang' karena hanya dipimpin oleh salah satu sektor

"Jadi, dalam 20 tahun terakhir ini, mesin ekonomi kita selalu pincang. Pertama, swasta, lalu pemerintah. Nah, kalau sekarang ke depan kalau digabung, minimal kita bisa 6-7%, nggak terlalu susah," tegas Purbaya.

(igo/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads