Pemerintah tengah berupaya mendapatkan tambahan pendapatan negara untuk mendukung berbagai program prioritasnya. Tambahan tersebut diperoleh dari pemangkasan anggaran di sejumlah kementerian/lembaga maupun dari pajak konsumsi yang bersifat regresif.
Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai langkah tersebut kurang tepat. Pemerintah dinilai perlu mendorong penerimaan negara melalui perluasan basis pajak, terutama dari sumber-sumber alternatif. Dengan begitu, negara bisa tetap menjaga program sosial yang penting bagi masyarakat sambil menutup celah fiskal secara progresif tanpa membebani kelompok yang sudah rentan.
Peneliti Celios Jaya Darmawan menjelaskan, berdasarkan hasil riset bertema "Dengan Hormat, Pejabat Negara Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang", terdapat 11 pajak alternatif yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk pembiayaan program perlindungan sosial yang lebih baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 11 pajak alternatif tersebut, Jaya menuturkan, pemerintah berpotensi meraup penerimaan negara hingga Rp 524 triliun.
"Ini saya kira hampir sama dengan kinerja penerimaan perpajakan kita di bulan April, hampir segitu ya, Rp 524 triliun. Saya kira sangat besar kalau setiap tahun kita bisa memaksimalkan angka hingga Rp 524 triliun," kata Jaya dalam acara peluncuran riset di Kantor Celios, Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Berdasarkan riset Celios, dari 11 pajak alternatif yang diidentifikasi:
1. Meninjau ulang insentif pajakPemerintah perlu mengevaluasi pemberian insentif pajak, terutama yang tidak tepat sasaran. Potensi penerimaan dari kebijakan ini mencapai Rp 137,4 triliun per tahun.
2. Pajak kekayaanPenerimaan berpotensi mencapai Rp 81,6 triliun per tahun, bahkan hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia.
3. Pajak karbonPotensi penerimaan hingga Rp 76,4 triliun. Kebijakan ini merupakan pajak korektif berbasis emisi COβ, bukan pendapatan atau laba.
4. Pajak produksi batu baraPotensi Rp 66,5 triliun. Pajak ini dikenakan atas kelebihan produksi komoditas batu bara, terpisah dari PPh Badan dan royalti.
5. Pajak windfall profit sektor ekstraktifPotensi Rp 50 triliun. Dikenakan ketika terjadi laba tak terduga akibat lonjakan harga.
6. Pajak penghilangan keanekaragaman hayatiPotensinya Rp 48,6 triliun.
7. Pajak digitalPotensi Rp 29,5 triliun. Diberlakukan atas aktivitas ekonomi perusahaan digital asing tanpa kehadiran fisik di Indonesia.
8. Peningkatan tarif pajak warisanPotensi Rp 20 triliun. Berlaku satu kali saat terjadi transfer nilai antargenerasi.
9. Pajak kepemilikan rumah ketigaPotensi Rp 4,7 triliun. Menyasar properti yang dimiliki untuk tujuan spekulatif.
10. Pajak capital gainPotensi Rp 7 triliun. Berlaku untuk keuntungan dari saham dan aset finansial.
11. Cukai minuman berpemanis dalam kemasanPotensi Rp 3,9 triliun. Selain menambah penerimaan negara, juga mendukung kesehatan publik.
Lihat juga Video Prabowo: Tak Ada Sedikitpun Niat Kami Mempersulit Hidup Rakyat