Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto punya cita-cita besar untuk membangun ekosistem hilirisasi rumput laut. Industri ini diproyeksikan mampu mendatangkan manfaat ekonomi sangat besar, hingga mencapai ratusan miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Stella Christie mulanya bicara tentang pentingnya riset sebagai motor pertumbuhan ekonomi bangsa. Ia juga menekankan, manfaat riset bukan hanya sekadar omon-omon belaka bagi perkembangan negara, salah satunya dalam hal pengembangan industri rumput laut
"Bukan sekadar omon-omon bahwa Indonesia harus penelitian, tetapi nilai ekonominya bisa terasa, baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang. Seperti rumput laut yang harus dibangun dari sekarang," kata Stella, dalam acara Pesta Rakyat Untuk Indonesia 2025 di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, Sabtu (23/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia merupakan penghasil rumput laut tropis terbesar di dunia. Stella mengatakan, saat ini pasaran rumput laut di dunia mencapai US$ 12 miliar. Namun demikian, Indonesia belum mendapatkan porsi yang banyak dari pasaran dunia tersebut karena belum mengoptimalkan risetnya.
Stella mengingatkan, ratusan miliar dolar AS itu akan hadir apabila industri tersebut benar-benar dibangun. Rumput laut tidak hanya bisa diekspor dalam bentuk mentahan, tetapi juga bisa diolah menjadi nori, bahkan hingga sustainable aviation fuel (SAF).
"Targetnya suatu saat, ini panjang waktunya, mungkin 10 tahunan, SAF targetnya itu 4 miliar liter di Indonesia. Artinya 10% dari jet fuel demand di dunia, itu akan ratusan miliar dolar AS pasarannya untuk Indonesia. Membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar," ujar dia.
Namun Stella mengingatkan kembali, apabila ekosistem tidak segera dibangun, bisa-bisa potensi tersebut lenyap begitu saja. Hal ini mengingat negara penghasil produk olahan rumput laut bukan hanya Indonesia.
"Ratusan miliar dolar AS, kalau dibangun. Kalau tidak dibangun, hilang itu ratusan miliar dolar AS. Hilang lapangan pekerjaan yang bisa kita capai. Riset tidak terlepas dari kalian semua," ujarnya.
Baca juga: Ekspor Rumput Laut RI Tembus Rp 4,9 T |
Stella menekankan bahwa riset tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Ia juga mengajak masyarakat bersama-sama mengubah persepsi bahwa riset itu bukan mahal, lambat, ataupun menghasilkan tulisan yang tidak dibaca, tetapi justru efisien, cepat, dan bermanfaat.
"Bahwa riset bukanlah biaya atau beban yang sia-sia. Riset adalah investasi," ujar dia.
Selaras dengan hal ini, Kemendiktisaintek sedang bekerja sama dengan Universitas Mataram sebagai perguruan tinggi yang memiliki banyak peneliti andal terkait komoditas rumput laut atau seaweed. Rencananya, perguruan tinggi tersebut akan dijadikan sebagai pusat risetnya.
Untuk merealisasikannya, Kemendiktisaintek juga bekerja sama dengan University of California (UC) Berkeley, Beijing Institute of Genomics dari China, dan industri terkait dalam proses penelitiannya.
(shc/ara)