Isu mengenai permasalahan pembangunan di desa dari tahun ke tahun dipandang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam 2 dekade terakhir. Padahal setiap tahunnya, anggaran yang dikucurkan dari APBN berupa dana desa tembus hingga puluhan triliun per tahunnya.
Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Samsul Widodo mengatakan, isu perekonomian di desa antara lain rendahnya skala ekonomi, lemahnya akses pasar, jalur distribusi yang panjang,terbatasnya sarana dan pascapanen, dan kualitas ada isu mengenai kesulitan permodalan.
"Dari saya mulai menjadi pegawai negeri tahun 97' di Bappenas, dan sampai saya saat ini di Kementerian Desa ternyata isu tentang pembangunan desa sama, tidak berubah," kata Samsul, dalam acara Pembekalan dan Pelepasan Tim Ekspedisi Patriot di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rangka konsolidasi skala ekonomi yang kecil-kecil, menurutnya sudah banyak dibentuk kelembagaan ekonomi desa mulai dari kelompok tani, kelompok nelayan, hingga badan usaha milik desa (BUMDes), dan kini menyusul Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih.
Selain kelembagaan, pemerintah juga telah menggelontorkan Dana Desa yang secara akumulasi mencapai Rp 680,85 triliun sejak tahun 2015 s.d 2025. Adapun untuk tahun 2025 ini ditetapkan alokasi sebesar Rp 71 triliun, di mana disalurkan Rp 943,39 juta per desa untuk sebanyak 75.259 desa.
"Jadi kalau kita lihat dari sini, apakah dana itu menjadi isu dalam pembangunan desa? Kalau misalnya itu bukan isu, berarti ada sesuatu yang selama ini kita tidak pernah pecahkan," ujarnya.
Samsul pun bercerita, di Kementerian Desa dan PDT sendiri punya candaan menyangkut dana desa. Apabila dana desa setiap tahun Rp 70 triliun diinvestasikan ke saham Indosat ataupun Telkomsel, akan menghasilkan keuntungan hingga 30%.
Apabila hal tersebut bisa dilakukan, dengan dana besar tersebut dalam tiga tahun kemudian Telkomsel dapat diakuisisi oleh dana desa dan dimiliki oleh seluruh kepala desa di Indonesia. Lalu di tahun berikutnya, dana desa bisa dioptimalkan untuk membangun industri.
"Tahun keempat, dana desa nggak usah dikucurkan, beli pabrik minyak goreng. Tahun kelima, beli pabrik gula. Tahun keenam, dana desa nggak perlu ada lagi karena sudah dapat saham Telkomsel 100%, saham pabrik gula, dan saham minyak goreng," ujarnya.
Meski cara tersebut dipandang bisa mempercepat realisasi pembangunan, sayangnya, menurut Samsul pemerintah tidak bekerja dengan cara seperti itu.
"Ada sesuatu jalan yang sebenarnya bisa lebih cepat untuk pembangunan, tapi cara kerja pemerintah tidak seperti itu. Jadi saya berharap di depan Pak Menteri, di depan Bapak dan Ibu sekalian, apakah mungkin kita bisa melakukan itu?," ujar Samsul lagi.
Selanjutnya Samsul juga menyinggung tentang cara pengusaha asal Kalimantan, Andi Syamsuddin Arsyad atau yang lebih dikenal dengan Haji Isam, dalam membeli 4.000 ekskavator. Menurutnya, apabila dana desa dipakai untuk membeli 5.000 ekskavator, hanya mengurangi alokasinya sebesar 50 juta per desa, sehingga 15 desa bisa dapat 1 ekskavator.
"Tahun depan dikurangi Rp 5 triliun lagi, kita beli 5.000 ekskavator. Tahun depan kita beli Rp 5 triliun lagi, kita dapat 5 ekskavator. Sehingga suatu saat, satu desa bisa 5 ekskavator, mereka bisa bangun jalan, mereka bisa bangun irigasi," kata dia.
"Pertanyaannya, apakah cara bekerjanya pemerintah seperti itu? Ini yang rumit di pemerintahan. Jadi Bapak dan Ibu sekalian, mungkin ini bisa memberi gambaran, siapa tahu ada kesempatan untuk kita memperbaiki bagaimana cara kerja pemerintah di depan. Ini yang dihasilkan oleh dana desa," sambungnya.
Menurut Samsul, apabila dana desa bisa digunakan dengan baik, dengan rekayasa teknokratis yang lebih baik, mestinya dana desa bisa memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
Lihat juga Video: Jeje-Ronal Dukung Pembangunan Desa, Bawa-bawa Nama Bung Hatta