Demonstrasi yang berujung penjarahan dan perusakan fasilitas publik dalam beberapa hari terakhir mengingatkan kita pada tiga peraih hadiah nobel ekonomi dari The Royal Swedish Academy of Science pada Senin, 14 Oktober 2024, yaitu: Daron Acemoglu dan Simon Johnson dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, USA, serta James A. Robinson dari University of Chicago, IL, USA.
Ketiganya berpandangan bahwa perbedaan antara negara kaya dengan negara miskin dapat diamati pada perbedaan institusi. Dalam hal ini, sistem ekonomi, politik dan hukum di negara miskin dan pendapatan menengah bersifat ekstraktif yang memberikan priviledge kepada sekelompok kecil elit.
Sementara, negara kaya memiliki institusi yang inklusif, yaitu institusi yang memberikan manfaat kepada semua kelompok masyarakat.
Perbedaan institusi antara negara kaya dengan negara miskin menyebabkan transformasi struktural di negara miskin, yaitu dari developing country menuju negara kaya (developed country) berjalan lambat dan bahkan stagnan.
Perekonomian negara miskin dan negara berpendapatan menengah, seperti Indonesia diwarnai oleh ketimpangan antar wilayah (regional disparity) dan antar pendapatan per kapita yang dapat memicu keresahan sosial, mengarah ke situasi chaos.
Institusi Ekstraktif
Pemenang Nobel ekonomi 2024 menunjukkan bahwa negara-negara yang sama secara geografis, iklim, etnis, sejarah, budaya, makanan, dan bahkan seni musik tetapi memiliki tingkat kesejahteraan berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan sistem politik, ekonomi dan hukum antar negara.
Sebagai contoh, Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) yang memiliki kesamaan geografis, iklim, etnis, bahasa, makanan dan musik. Namun, keduanya memiliki tingkat kesejahteraan berbeda.
Korsel tergabung dalam kelompok negara maju dan Korut termasuk dalam kategori negara miskin. Kesenjangan kesejahteraan antara Korsel dengan Korut disebabkan oleh perbedaan institusi, institusi Korsel bersifat inklusif dan sebaliknya, institusi Korut bersifat ekstraktif, hanya menguntungkan sekelompok kecil elit.
Hal ini sejalan dengan Eric Werker, Associate Professor dari Harvard Business School (2012) yang menyatakan bahwa dalam 50 tahun, sejak tahun 1960 - 2010, terdapat 33 negara yang mengalami pertumbuhan lebih besar 10%. Namun, tidak semua dari negara tersebut yang akhirnya mampu bertransformasi menjadi negara maju.
Hanya China, Jepang, Singapura, dan Hong Kong yang perekonomiannya sukses bertransformasi menjadi developed countries. Sementara Lebanon dan Suriah stagnan sebagai negara berpendapatan menengah dan bahkan menjadi negara miskin.
Pengalaman kedua kelompok negara di atas menunjukkan bahwa developed countries (kelompok negara maju) memiliki institusi yang inklusif. Sebaliknya, negara yang terjebak sebagai negara miskin memiliki institusi yang ekstraktif.
(ang/ang)