Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menekankan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset mesti dikaji secara teliti. Pasalnya, regulasi ini menyentuh hak kepemilikan pribadi yang dijamin oleh UU Dasar (UUD) 1945.
Namun begitu, BPKN menilai wajar publik menuntut agar RUU Perampasan Aset segera disahkan menyusul masifnya tindak pidana korupsi dan kejahatan ekonomi.
Ketua BPKN, Muhammad Mufti Mubarok, menekankan pentingnya kepastian hukum, akuntabilitas, dan perlindungan konsumen/masyarakat dalam setiap pasal RUU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Instrumen perampasan aset memang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian negara dan menutup celah kejahatan ekonomi. Tetapi desainnya harus presisi agar tidak berbalik menimbulkan ketidakadilan bagi warga yang taat hukum," ujar Mufti dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/9/2025).
Titik Kritis RUU Perampasan Aset
Mufti menjelaskan, terdapat beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan dalam RUU tersebut. Seperti, RUU Perampasan Aset perlu lebih dalam menentukan batas yang jelas atas objek dan ruang lingkup aset yang dapat dirampas, hanya terkait langsung dengan tindak pidana, bukan aset sah milik pihak tak terkait.
Di sisi lain, perlu juga mengadopsi due process atau jaminan konstitusional yang ketat dan kontrol hakim pada seluruh tahapan hukum, seperti penyitaan, pembekuan, hingga perampasan, termasuk hak banding dan mekanisme keberatan yang efektif.
Kemudian, Mufti menekankan perlunya penerapan konsep NCBAF atau perampasan aset tanpa pemidanaan bila diadopsi, wajib dipagari standar pembuktian yang tinggi, transparansi, dan pengawasan peradilan untuk menghindari penyalahgunaan.
"Perlindungan pihak ketiga beritikad baik (pengguna/konsumen/pemilik sah) serta mekanisme pemulihan/kompensasi bila terjadi salah sita. Sejumlah organisasi antikorupsi juga mengusulkan pembatasan nilai dan cakupan agar fokus pada kejahatan berat dan mencegah overreach," terang Mufti.
Harus Transparan
Di sisi lain, BPKN juga menekankan pentingnya standar transparansi dan akuntabilitas yang mencakup kewajiban publikasi putusan, pelaporan periodik, audit independen, dan kanal pengaduan yang mudah diakses.
Mufti menilai, perlu sinkronisasi regulasi dengan KUHAP/KUHP dan aturan sektoral seperti perbankan, fidusia, kepailitan, perlindungan data. Hal ini perlu ditekankan agar tidak tumpang tindih dan merugikan pelaku usaha maupun konsumen.
Kemudian kelembagaan pelaksana juga harus ditetapkan secara jelas, ramping, dan diawasi lintas lembaga, agar efektivitas pemulihan aset berjalan tanpa memperbesar biaya kepatuhan publik.
Menurut Mufti, kesalahan desain pada definisi, beban pembuktian, atau prosedur eksekusi bisa berdampak langsung pada masyarakat. Imbasnya, rekening dibekukan tanpa kepastian, aset sah terdampak, atau konsumen yang beritikad baik ikut menanggung risiko.
Karena itu, terang Mufti, partisipasi publik yang bermakna, termasuk uji dengar pendapat dengan komunitas konsumen, akademisi, dan pelaku usaha, perlu dimaksimalkan sebelum pengesahan. Ia menambahkan, negara harus tegas melawan korupsi dan kejahatan ekonomi, tetapi jangan mencederai hak rakyat.
"Kami mendukung penuh upaya negara untuk merampas aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, jangan sampai rakyat yang jujur, taat hukum, dan beritikad baik ikut terdampak karena aturan yang terburu-buru. RUU ini harus dikaji secara cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai yang lahir adalah instrumen hukum yang melukai rakyat, padahal tujuan utamanya untuk melindungi rakyat," jelasnya.
"BPKN RI mendukung penguatan pemberantasan korupsi lewat perampasan aset yang terukur dan adil. Cepat boleh, asal tepat. RUU ini harus menjadi instrumen efektif memulihkan kerugian negara tanpa menggerus hak konstitusional warga dan konsumen yang beritikad baik," tambahnya.
Poin Penting RUU Perampasan Aset
Keselarasan dengan UUD 1945, yakni pada Pasal 28H ayat (4), bahwa hak kepemilikan dijamin dan tidak boleh dirampas sewenang-wenang. Kemudian Pasal 28D ayat (1), kepastian hukum yang adil.
"Maka, RUU harus memberi rambu due process of law & proposionalitas agar tetap konstitusional," terang Mufti.
Keterkaitan dengan perlindungan konsumen, di mana status konsumen adalah pemilik sah harta hasil usaha, tabungan, atau investasi. Jika pasal RUU multitafsir, ada risiko masyarakat umum menjadi korban salah sasaran.
Kemudian sspek kepercayaan. Menurut Mufti, perampasan aset rawan disalahgunakan dan masyarakat kehilangan rasa aman untuk berinvestasi, menabung, atau bertransaksi yang berdampak menurunnya kepercayaan konsumen pada negara.
RUU Perampasan Aset juga mesti memuat asas kepastian dan keadilan yang dijamin UUD 1945. Hal ini sejalan dengan filosofi UU Perlindungan Konsumen yang melindungi hak atas rasa aman, kepastian hukum, dan tidak diperlakukan sewenang-wenang.
"Maka, memperkuat pengaman dalam RUU ini secara langsung juga memperkuat perlindungan konsumen sebagai warga negara pengguna sistem hukum," pungkasnya.
(hns/hns)