Badan Legislatif (Baleg) DPR mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komoditas Strategis. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai aturan pungutan ekspor yang diatur dalam RUU tersebut akan tumpang tindih dengan aturan sebelumnya.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Baleg DPR RI hari ini. Iqbal mengatakan pungutan ekspor sebelumnya telah diatur di sejumlah kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.
"Kemudian di pasal 46 terkait dengan pengaturan pungutan ekspor. Penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan dalam konteks pungutan ekspor saat ini diatur dalam beberapa peraturan perundangan. Pengaturan kembali menurut hemat kami dalam RUU ini dikhawatirkan akan menjadi tumpang tindih pengaturan," kata Iqbal, Kamis (4/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian Iqbal menyoroti pembentukan Badan Komoditas Strategis yang dapat jadi koordinator promosi dagang ke luar negeri. Menurut Iqbal, hal ini perlu dipertimbangkan kembali lantaran dalam PP Nomor 29/2021 menetapkan Menteri Perdagangan sebagai koordinator. Kewenangan itu tertuang dalam pasal 47 ayat 3 di RUU Komoditas Strategis.
"Kemudian di bab 12 terkait dengan Badan Komoditas Strategis memperhatikan lingkup kebijakan komoditas strategis yang telah ada di berbagai kementerian/lembaga dan penyederhanaan untuk kelembagaan. Apabila dilakukan pembentuk kelembagaan baru, maka perlu dipertegas batas-batas kewenangan yang jelas dari dibentuknya Badan Komoditas Strategis yang baru ini," terang Iqbal.
Tak hanya itu, Iqbal juga menyoroti terkait pelaksanaan ekspor yang perlu verifikasi atau penulusuran teknis yang tertuang dalam pasal 45 RUU Komoditas Strategis. Menurut Iqbal, kewajiban tersebut dapat memberatkan eksportir sehingga menimbulkan biaya yang tinggi.
Iqbal menjelaskan saat ini tidak ada komoditas perkebunan yang menggunakan instrumen larangan terbatas (lartas), seperti verifikasi atau penelusuran tarif ekspor.
"Verifikasi atau penelusuran teknis ekspor ini dikhawatirkan akan membebani eksportir dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi untuk beberapa produk turunan kelapa sawit diwajibkan uji laboratorium dan itu juga sehingga akan menimbulkan double treatment," imbuhnya.
Berdasarkan situs resmi DPR, komoditas strategis yang dimaksud dalam RUU tersebut merupakan barang dagangan hasil bumi dan budidaya di bidang perkebunan yang layak untuk diperjualbelikan, tukar-menukar, dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu, dimanfaatkan sebagai bahan mentah atau bahan yang sudah diolah, dan dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan nasional atau internasional, yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sesuai dengan kriteria dan jenis yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(acd/acd)