Gaji baru saja cair, namun saldo di rekening sudah menipis seakan-akan gaji hanya 'numpang lewat'. Fenomena ini ternyata tidak hanya dialami segelintir orang, tetapi menjadi salah satu masalah umum saat ini.
Ekonom Senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut kondisi ini terlihat dari berbagai data ekonomi. Hal ini dapat terlihat salah satunya dari pertumbuhan jumlah tabungan masyarakat atau individu dengan saldo kurang dari Rp 100 juta yang mengalami perlambatan.
Selain itu, ada juga peningkatan utang pinjaman online (pinjol) atau Peer to Peer (P2P) Lending warga Indonesia yang tembus Rp 84,66 triliun per Juli 2025. Jumlah ini meningkat 22,01% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan sebelumnya Rp 69,39 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini menunjukkan banyak orang, khususnya kelas menengah, lebih cepat kehabisan dana sehingga kurang bisa menabung, bahkan sampai harus berutang.
"Trennya jumlah pinjaman online semakin banyak, dan itu kebanyakan di menengah ke bawah. Cuma dari pinjol itu masalahnya tidak ada survei yang membuktikan kelas menengah ke bawah. Tapi saya yakin itu kelas menengah ke bawah paling banyak pakai," katanya kepada detikcom.
Ia menjelaskan ada sejumlah faktor yang membuat isi dompet masyarakat kian menipis meski belanja bulanannya sama saja. Salah satunya adalah kenaikan harga barang dalam beberapa waktu terakhir.
Masalahnya, kenaikan harga ini tidak diiringi dengan kenaikan upah. Tauhid mengatakan laju kenaikan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari jauh lebih cepat daripada laju pertumbuhan gaji pekerja.
"Harga barang itu inflasi itu sulit ditahan, sementara pendapatan relatif kenaikannya tidak secepat kenaikan harga-harga. Bagi kelas menengah justru kenaikan harga ini banyak yang bukan makanan. Misalnya kosmetik, kemudian transportasi dan sebagainya, itu kadang lebih cepat naiknya ketimbang pendapatan," terangnya.
Belum lagi gaya hidup masyarakat saat ini. Menurut Tauhid, banyak orang yang 'sesekali' membeli barang di luar kebutuhan pokok. Namun tanpa sadar, barang-barang ini menjadi pengeluaran tambahan yang cicilannya mungkin baru terasa di bulan-bulan berikutnya.
Senada, perencana keuangan Eko Endarto juga melihat sekarang ini banyak orang semakin sulit mengatur pengeluaran, yang menunjukkan gaji atau pendapatannya sudah habis untuk konsumsi sehari-hari.
Menurutnya, salah satu biang kerok yang membuat gaji terasa lebih cepat habis adalah kenaikan harga barang. Baik karena inflasi, maupun kelangkaan produk yang membuat harga melonjak tinggi.
"Pertama pastinya karena inflasi, walaupun pemerintah bilang inflasi kita nggak tinggi, tapi secara real kita bisa melihat bahwa beberapa barang itu makin sulit ditemui. Atau misalnya memang tidak inflasi, tapi beberapa barang itu tidak ada sehingga harganya tinggi sekali," jelas Eko.
"Sehingga kita harus berkorban untuk suatu barang yang itu pokok. Pada akhirnya dana yang habis lebih besar dari biasanya," sambungnya.
Masalahnya, kenaikan harga ini terjadi pada produk yang biasa dibeli masyarakat. Sehingga mau tak mau mereka harus tetap membeli dengan harga lebih tinggi, tanpa sadar menghabiskan lebih banyak uang. Inilah yang membuat gaji bulanan terasa lebih cepat habis dari biasanya.
"Karena kan kadang-kadang karena itu rutin kita merasa itu biasa-biasa saja. Kita beli-beli, tapi ternyata harganya naik, kita nggak kerasa. Apalagi kalau misalnya kita belinya dalam jumlah sedikit, misalnya per hari atau tiap hari beli. Dia naik seratus rupiah, tapi kalau beli tiap hari, tiga puluh hari sudah berapa kan? Itu baru satu barang. Misalnya yang lain naik seribu rupiah, beli tiap hari itu ditotal sudah Rp 30 ribu kelebihannya," jelas Eko.
Namun di balik itu ada juga biaya-biaya 'terselubung' lainnya yang kerap memakan isi dompet tanpa sadar. Misalkan saja untuk biaya parkir saat bekerja atau bahkan saat berbelanja di minimarket.
"Belum lagi misalnya biaya-biaya nggak kelihatan seperti beli pulsa telepon, itu kan kita ada biaya administrasi. Beli pulsa PLN, transfer uang, dan sebagainya itu kan ada potongan-potongan yang kita suka nggak lihat," paparnya.
Masalahnya, biaya-biaya ini terkesan kecil sehingga sering diabaikan. Namun jika biaya-biaya kecil ini ditotal, maka baru terlihat sebagai salah satu pos pengeluaran yang cukup besar.
"Kita bayar itu kan angka-angka yang kecil, tapi kalau dihitung bisa sangat besar apalagi kalau rutin," terang Eko.
Simak juga Video 'Strategi Perencanaan Keuangan di Kondisi Labil':
(fdl/fdl)