Buruh Rapat Bareng DPR Bahas RUU Ketenagakerjaan, Singgung PHK-Pesangon

Buruh Rapat Bareng DPR Bahas RUU Ketenagakerjaan, Singgung PHK-Pesangon

Ilyas Fadilah - detikFinance
Selasa, 23 Sep 2025 16:12 WIB
Buruh rapat dengan Komisi IX
Foto: Ilyas Fadilah
Jakarta -

Komisi IX DPR RI mengadakan rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-undang (RUU) Ketenagakerjaan dengan sejumlah organisasi atau serikat pekerja. Agenda rapat tersebut salah satunya penyampaian masukan dari pekerja, termasuk sistem kerja, upah, hingga jaminan profesi.

Perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Roy Jinto menekankan pentingnya kepastian pesangon bagi karyawan korban PHK di perusahaan yang statusnya pailit.

"Kami perlu menyampaikan bahwa dengan maraknya PHK hari ini tetapi kepastian pesangonnya tidak ada. Salah satu contoh adalah banyak perusahaan-perusahaan yang mempailitkan dirinya dalam tanda kutip dengan menghindari membayar pesangon," ujarnya dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Roy menilai kondisi ini berbeda dengan karyawan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menilai karyawan di perusahaan swasta lebih rentan dan tidak mendapat perlindungan yang kuat.

"Tapi untuk perusahaan swasta, ini sangat gampang. Salah satunya adalah kalau kita lihat yang baru-baru ini adalah Sritex. Kalau kita melihat utangnya Rp 29 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp 9 triliun, maka sudah dapat dipastikan buruh tidak akan mendapatkan pesangon dengan terjadinya penutupan perusahaan yang diakibatkan oleh kepailitan," bebernya.

ADVERTISEMENT

Oleh karena itu, ia mengusulkan adanya kepastian soal pesangon dalam aturan terbaru ke depannya. Skemanya bisa disesuaikan, misalnya dengan melibatkan pihak ketiga atau sebagainya. Selain itu, Menteri Ketenagakerjaan juga diminta turun tangan untuk memastikan bahwa perusahaan yang pailit mampu membayar pesangon buruhnya.

Ia juga mengusulkan proses PHK harus dilakukan secara musyawarah mufakat atau bipartit. Yang saat ini terjadi, perusahaan akan memberitahukan bakal terjadi PHK lalu baru dirundingkan jika karyawan yang bersangkutan menolak.

Usulan lainnya adalah kepastian status karyawan di perusahaan serta penghapusan sistem outsourcing. Ia berharap status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bisa lebih dibatasi, misalnya tidak melebihi 3 atau 5 tahun.

Kepastian soal sistem magang juga menjadi hal yang disuarakan. Ia mempertanyakan apakah sistem magang yang saat ini ada ditujukan untuk siswa yang tengah mengenyam pendidikan atau orang-orang yang benar-benar mencari kerja.

"Kita bingung juga tentang pemagangan yang terjadi hari ini. Apakah pemagangan ini buat pencari kerja, atau orang-orang atau anak sekolah, SMA yang biasa PKL atau kuliah. Tapi praktiknya hari ini adalah orang pencari kerja yang dibuat magang, dan itu tidak dibayar upah minimum. Hanya uang saku dalam ketentuan undang-undangnya," bebeber Roy.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menyinggung soal disparitas upah minimum antar daerah. Menurutnya ada kesenjangan upah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, namun beban pengeluarannya cenderung sama.

Harga-harga produk yang sudah berstandar SNI, misalkan seperti motor Motor merek A yang dijual di Karawang harganya tidak jauh beda yang dijual di Yogyakarta. Tetapi upah yang diterima pekerja di Karawang hari ini sekitar Rp 5,5 juta sementara di Yogyakarta itu Rp 2,3 juta.

"Dua kali lipat upah minum yang ada di Karawang daripada di Yogyakarta. Kalau kemudian perdebatannya adalah soal di Karawang kebutuhan hidup layaknya lebih tinggi, mari kita bisa cek bareng-bareng, benarkah tingkat kebutuhan hidup layak di Yogyakarta dengan di Karawang jauh lebih tinggi bahkan sampai dua kali lipat," tanya Ristadi.

Kesenjangan upah ini, kata Ristadi, mencerminkan ketidakadilan sektor ketenagakerjaan di bidang yang sama. Pasalnya gaji yang diterima buruh dibedakan berdasarkan wilayah kerjanya, meskipun kompetensi dan industrinya sama.

"Yang kedua soal jam kerjanya. Jam kerjanya sama tapi upahnya berbeda. Yang lebih jauh kesenjangan upah yang begitu mencolok ini tidak adil bagi pekerja secara umum untuk menikmati hasil pertumbuhan ekonomi secara nasional," imbuh Ristadi.

Oleh karena itu, ia mengusulkan pemberlakuan upah minimum sektoral secara nasional yang dilakukan secara bertahap. Menurutnya perlu ada masa transisi, yaitu dengan menaikkan upah minimum bagi daerah yang upahnya masih rendah harus lebih tinggi dari daerah yang upah minimumnya sudah tinggi.

Simak juga Video: Perwakilan Buruh Temui Puan, Curhat soal RUU Ketenagakerjaan

(acd/acd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads