Perubahan keempat Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dinilai membawa terobosan penting dalam tata kelola perusahaan negara.
Anggota Komisi VI DPR RI, Firnando Hadityo Ganinduto mengatakan revisi ini meneguhkan tiga poin utama yang selama ini menjadi aspirasi masyarakat sekaligus koreksi konstitusional.
Pertama, revisi ini secara tegas mengubah kedudukan komisaris maupun direksi BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara. Dengan status tersebut, mereka wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas publik dan standar etika yang sama sebagaimana pejabat negara lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BUMN mengelola kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga setiap organ di dalamnya tidak bisa lagi dipandang semata-mata sebagai pelaku korporasi. Mereka adalah bagian dari penyelenggara negara yang bertanggung jawab langsung kepada publik," jelas Firnando dalam keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).
Kedua, perubahan UU ini menegaskan komisaris dan direksi BUMN dapat diperiksa secara rutin oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik melalui audit reguler maupun pemeriksaan tujuan khusus.
Mekanisme ini penting untuk memastikan tidak ada ruang abu-abu dalam pengelolaan BUMN serta memperkuat kepercayaan publik terhadap transparansi dan integritas perusahaan milik negara.
Ketiga, revisi juga menutup celah konflik kepentingan dengan melarang rangkap jabatan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN. Firnando menekankan, larangan ini merupakan langkah mendasar untuk menjaga independensi manajemen BUMN, menghindari bias kebijakan, sekaligus memperkuat prinsip good corporate governance.
Firnando menegaskan, substansi perubahan ini sejalan dengan misi pemerintah membangun BUMN yang modern, transparan, dan berdaya saing global.
"Perubahan ini bukan hanya soal teknis kelembagaan, tetapi menyangkut akuntabilitas, transparansi, dan kepercayaan publik. Negara t
(ily/hns)