Children With Hummer: Kebijakan Ekonomi Terkini

Kolom

Children With Hummer: Kebijakan Ekonomi Terkini

Riant Nugroho - detikFinance
Selasa, 30 Sep 2025 13:12 WIB
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan paparan saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Senin (22/9/2025). Menteri Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Agustus 2025.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuat gebrakan dengan menarik dana sekitar Rp 200 triliun dari total kas Rp 425 triliun dana pemerintah dari rekening di Bank Indonesia ke bank komersial untuk menambah likuiditas sektor pembiayaan.

Dana itu selanjutnya akan ditempatkan di perbankan nasional. Langkah ini diharapkan dapat menambah likuiditas, memutar roda ekonomi, sekaligus memicu sektor swasta meningkatkan aktivitas belanja. Menkeu memberi peringatan kepada kementerian-kementerian besar yang belum optimal melakukan penyerapan anggaran.

Menurut Purbaya, jika sampai akhir Oktober 2025 belanja kementerian belum bisa maksimal, maka anggaran akan ditarik kembali. Kemudian, Menteri juga mendorong percepatan belanja APBD, bahkan kalau perlu menariknya, jika tidak dibelanjakan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hingga akhir Agustus 2025 dana pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp 233,11 triliun. Sementara itu, realisasi belanja daerah hingga 24 September 2025 baru mencapai Rp 656,40 triliun, atau 46,86% dari pagu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inti kebijakannya adalah gelontorkan uang untuk menggerakkan ekonomi nasional. Pada amatan saya, kebijakan ini tidak salah, namun berpotensi terjebak pada model kebijakan children with hummer. Dalam literatur kebijakan publik, terdapat fenomena yang dikenal sebagai children with hammer atau law of the instrument.

Istilah ini merujuk pada kecenderungan pengambil keputusan yang hanya mengandalkan satu instrumen, lalu memperlakukan semua persoalan seolah-olah dapat diselesaikan dengan instrumen tersebut. Abraham Kaplan (The Conduct of Inquiry, 1964) menyebutnya sebagai the law of the instrument: "Give a small boy a hammer, and he will find that everything he encounters needs pounding."

ADVERTISEMENT

Fenomena Keilmuan

Fenomena ini sejajar dengan apa yang dalam kajian kebijakan disebut solution finds problem, yakni ketika solusi sudah ada terlebih dahulu, kemudian masalah "dicarikan" agar sesuai dengan solusi tersebut (Kingdon, Agendas, Alternatives, and Public Policies, 1995). Kedua fenomena tersebut sama-sama menggambarkan bias dalam proses perumusan kebijakan, yakni menggeser logika kebijakan dari problem-driven policy menuju solution-driven policy.

Menurut Charles Lindblom (The Science of Muddling Through, 1959), proses kebijakan seharusnya berjalan melalui identifikasi masalah dan serangkaian kompromi inkremental yang menyesuaikan dengan kondisi sosial. Herbert Simon (Theories of Bounded Rationality,1972) juga menekankan pentingnya rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam proses pengambilan keputusan, yang berarti kebijakan perlu dibuat dengan memperhitungkan berbagai alternatif solusi dan keterbatasan kapasitas aktor. Namun dalam praktiknya, bias children with hammer membuat pemerintah justru mengabaikan variasi instrumen kebijakan, sehingga kebijakan yang lahir cenderung simplistis dan tidak menyentuh akar persoalan.

Fenomena ini dapat diamati dalam banyak kasus kebijakan publik di negara berkembang. Misalnya, dalam penanganan kemiskinan, pemerintah sering mengandalkan program bantuan tunai sebagai instrumen utama, meski problem kemiskinan sesungguhnya multidimensional, mencakup pendidikan, kesehatan, dan akses lapangan kerja (World Bank, The State of Social Safety Nets, 2018). Demikian pula dalam kebijakan transportasi perkotaan, solusi yang ditawarkan sering kali sebatas peningkatan operasi penertiban lalu lintas, padahal akar masalah ada pada tata ruang kota dan ketiadaan transportasi publik yang memadai.

Aaron Wildavsky (Speaking Truth to Power, 1979) mengingatkan bahwa kebijakan publik adalah "a choice among alternatives in light of the given facts." Artinya, keberhasilan kebijakan hanya dapat dicapai apabila perumusannya berangkat dari pemahaman masalah secara komprehensif dan pemilihan instrumen yang sesuai. Dengan demikian, fenomena children with hammer dan solution finds problem menjadi peringatan akademik maupun praktis agar perumusan kebijakan publik tidak terjebak pada penggunaan solusi instan yang seragam, melainkan senantiasa berangkat dari kompleksitas masalah yang nyata.

Praktik Kebijakan

Di Indonesia kebijakan akselerasi finansial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nampaknya dapat dikategorikan sebagai children with hammer atau solution finds problem dalam kebijakan publik. Kekuatan teori yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan adalah menggelontorkan dana ke bank dan mempercepat belanja pemerintah. Kebijakan Menkeu bahwa masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan kurangnya uang beredar (tight liquidity) memang hanya menangkap satu aspek dari realitas ekonomi. Likuiditas memang penting, karena ketersediaan uang memengaruhi konsumsi, kredit, dan investasi. Tetapi dalam teori ekonomi makro maupun pengalaman empiris, pertumbuhan ekonomi tidak ditentukan oleh satu variabel saja.

Ada beberapa faktor lain yang justru sering lebih menentukan. Pertama, ketidakpastian ekonomi dan investasi. Investor, baik domestik maupun asing, biasanya menahan ekspansi jika mereka melihat ketidakpastian-misalnya tahun politik, perubahan regulasi, ketidakpastian hukum, atau instabilitas global. Hal ini membuat capital formation (pembentukan modal) melambat, meski uang beredar cukup. Jadi masalah bukan hanya availability of money, tetapi confidence terhadap iklim usaha. Ke dua, daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga adalah pilar utama ekonomi Indonesia (kontribusinya lebih dari 50% PDB). Jika daya beli menurun karena inflasi, upah riil stagnan, atau lapangan kerja terbatas, maka uang beredar banyak pun tidak akan otomatis mendorong pertumbuhan. Fenomena ini mirip dengan konsep liquidity trap dalam teori Keynes: meski uang disuntikkan ke pasar, masyarakat enggan membelanjakan karena pesimisme.

Ke tiga, produktivitas dan struktur ekonomi. Pertumbuhan ekonomi jangka panjang ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja, diversifikasi industri, dan kapasitas inovasi. Jika struktur ekonomi masih didominasi konsumsi dan komoditas primer, suntikan uang ke pasar hanya memberi efek jangka pendek, bukan fundamental. Ke empat, faktor global yaitu perdagangan internasional, suku bunga global (misalnya kebijakan The Fed), dan harga komoditas juga sangat memengaruhi perekonomian Indonesia. Misalnya, ketika harga batubara dan sawit jatuh, ekspor melemah meskipun uang beredar cukup.

Dengan demikian, analisis yang terlalu menyederhanakan pertumbuhan hanya pada persoalan uang beredar bisa menyesatkan arah kebijakan. Perspektif Keynesian menekankan pentingnya permintaan agregat (aggregate demand), yang mencakup konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor-neto, bukan sekadar jumlah uang. Sementara ekonomi kelembagaan (Acemoglu & Robinson, Why Nations Fail, 2012) menekankan bahwa kepastian hukum, kualitas regulasi, dan tata kelola institusi lebih menentukan kepercayaan pasar dibanding sekadar injeksi likuiditas.

Dus, masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa direduksi menjadi isu kurangnya uang beredar. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah menciptakan kepastian investasi, menjaga daya beli, dan memperbaiki struktur ekonomi agar pertumbuhan lebih berkelanjutan.

Namun, children with hummer nampaknya menjadi "tradisi" pengambilan kebijakan publik di Indonesia. Misalnya kebijakan bantuan sosial (bansos) untuk kemiskinan. Pemerintah Indonesia sejak lama mengandalkan bansos (bantuan tunai, sembako, PKH, BLT, dll.) sebagai instrumen utama pengentasan kemiskinan. Padahal, kemiskinan di Indonesia bersifat multidimensi: keterbatasan pendidikan, kesehatan, akses pekerjaan, hingga infrastruktur desa. Namun karena "palu" yang paling cepat dan politis adalah bansos, hampir semua persoalan kemiskinan diperlakukan sebagai "paku" yang bisa dipukul dengan bansos. Hasilnya, angka kemiskinan fluktuatif, tetapi ketimpangan struktural tetap sulit diatasi.

Ada juga kebijakan pembangunan infrastruktur sebagai solusi tunggal pertumbuhan. Dalam satu dekade terakhir, infrastruktur sering diposisikan sebagai silver bullet untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Jalan tol, bandara, dan pelabuhan dibangun masif. Namun instrumen ini sering digunakan tanpa disertai kebijakan pemberdayaan ekonomi lokal dan peningkatan kualitas SDM. Akibatnya, manfaat pembangunan infrastruktur tidak selalu merata-banyak daerah hanya menjadi jalur lintasan, bukan pusat pertumbuhan baru.

Di Amerika Serikat misalnya kebijakan War on Drugs. Sejak 1970-an, pemerintah AS menggunakan pendekatan kriminalisasi dan penindakan hukum sebagai "palu" utama untuk menyelesaikan masalah narkoba. Semua bentuk penyalahgunaan diperlakukan sebagai "paku" yang harus dipukul dengan hukuman penjara. Padahal riset menunjukkan akar masalah narkoba banyak terkait faktor kesehatan mental, sosial, dan ekonomi. Pendekatan tunggal ini justru menyebabkan overcriminalization dan penuh sesaknya penjara, sementara masalah narkoba tidak kunjung selesai.

Kebijakan lain di AS misalnya teknologi digital dalam pendidikan. Pemerintah federal dan lokal di AS banyak mendorong penggunaan perangkat digital dan aplikasi daring sebagai solusi untuk masalah pendidikan. Namun, studi menunjukkan bahwa akses internet, kualitas pengajaran, dan konteks sosial justru lebih menentukan capaian belajar (OECD, 2015). Instrumen teknologi dijadikan "palu", meski masalah pendidikan jauh lebih kompleks.

Di China ada kebijakan penggunaan CCTV dan Social Credit System. Untuk menyelesaikan masalah ketertiban sosial dan kepatuhan hukum, Tiongkok banyak mengandalkan pengawasan berbasis teknologi: CCTV, pengenalan wajah, dan sistem penilaian sosial. Semua masalah sosial dianggap bisa "diselesaikan" dengan instrumen pengawasan ini. Padahal, kepatuhan sosial tidak hanya lahir dari pengawasan, tetapi juga dari partisipasi warga, kepercayaan publik, dan sistem hukum yang adil.

Di India, Pemerintah sejak lama menggunakan subsidi pupuk dan harga gabah minimum (MSP) sebagai instrumen utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Namun solusi ini justru memicu overproduksi padi dan gandum, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan petani pada subsidi. Instrumen "subsidi" dijadikan palu universal, sementara persoalan pertanian jauh lebih kompleks (akses air, diversifikasi tanaman, teknologi pertanian).

Pelajaran

Dari kasus-kasus ini terlihat bahwa fenomena children with hammer/solution finds problem bukan sekadar teori, tetapi nyata dalam praktik kebijakan di Indonesia. Pemerintah, mungkin karena keterbatasan kapasitas, tekanan politik, atau kepentingan, cenderung menggunakan instrumen yang sudah tersedia, mudah, dan populer, ketimbang menyesuaikan instrumen dengan kompleksitas masalah.

Dan, kegagalan Indonesia dalam merespon masalah ekonomi agaknya bukan dikarenakan oleh masalah itu sendiri, namun kegamangan dan ketidakmampuan kita memahami masalah dan memberikan respon yang selayaknya.

Karena, ternyata solusi masalah ekonomi tidak terletak di keilmuan ekonomi itu sendiri, namun bersama-sama dengan keilmuan lain. Richard Thaler, penerima penghargaan Nobel dalam bidang Ekonomi tahun 2017 untuk hasil kontribusinya mengenai ekonomi perilaku, menjelaskan bahwa pasar pun bukan masalah ekonomi, tetapi masalah psikologi yang mendasari perilaku manusia. Ini menjadi pembelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi, termasuk dan terutama untuk lembaga pengampu keuangan Indonesia.

Simak juga Video 'Pemerintah Ungkap Potensi AI Sebagai Mesin Ekonomi Baru':

(hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads