Hubungan erat antara China dan negara-negara Asia Tenggara sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Dari jalur perdagangan kuno, ekspedisi Cheng Ho, hingga dinamika modern lewat investasi dan diplomasi, Tiongkok terus menancapkan pengaruhnya di kawasan.
Kini, di era Presiden Xi Jinping, pengaruh itu makin kuat. Sejumlah pengamat menilai langkah China membawa keuntungan, tetapi juga menyimpan risiko. Ketergantungan yang berlebihan justru bisa melemahkan peran ASEAN di kancah global.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, menegaskan bahwa strategi Beijing sudah terlihat sejak tiga dekade terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"China berusaha menangkal setiap perkembangan yang berpotensi mengganggu kepentingan nasionalnya melalui hubungan dengan ASEAN. Mereka juga hadir aktif di forum-forum ASEAN," kata Johanes dalam seminar di Jakarta, ditulis Rabu (1/10/2025).
Menurutnya, sejak Xi Jinping berkuasa, upaya Beijing makin masif. "China menjalankan inisiatif ekonomi, politik, diplomatik, sampai sosial budaya. Tujuannya meningkatkan citra internasional dan memperkuat klaim, terutama di Laut China Selatan (LCS) dan Selat Taiwan," jelasnya.
Johanes mengutip riset Forum Sinologi Indonesia yang dipimpin peneliti Ratih Kabinawa. Salah satu strategi China, kata dia, adalah mendekati negara yang sedang menjabat ketua ASEAN.
"Posisi ketua ASEAN itu strategis. Bisa membangun konsensus, menentukan agenda, sampai jadi mediator konflik. China tahu betul celah ini," ucapnya.
Sebagai contoh, Malaysia tahun ini berhasil memediasi konflik Thailand-Kamboja. Johanes menilai keberhasilan itu karena Malaysia menjaga keseimbangan: dekat dengan China, tapi tetap menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat.
"Artinya, menjaga perimbangan hubungan dengan kekuatan besar itu penting. Kalau terlalu dekat dengan China, ASEAN bisa kehilangan daya tawarnya. Misalnya, sulit bersuara keras saat kapal penjaga pantai China menekan Filipina," tegas Johanes.
Pandangan sedikit berbeda datang dari akademisi Universitas Indonesia, Broto Wardoyo. Menurut Ketua Departemen Hubungan Internasional UI itu, China tidak bisa memaksa ASEAN mengambil keputusan bulat yang merugikan anggotanya.
"Strategi paling realistis bagi China adalah menjaga status quo," katanya.
Broto menilai, pengaruh Beijing memang makin besar, tapi kompleksitas ASEAN justru jadi penghalang. Setiap negara punya kepentingan masing-masing, sehingga sulit dipaksa untuk bersuara bulat.
"Jangan lupa, pandangan elite dan masyarakat umum soal China juga berbeda. Ada survei yang bilang 70% elit Indonesia lebih condong ke China dibanding Amerika Serikat. Tapi itu survei elite, akademisi, pengamat. Kalau masyarakat luas, bisa beda lagi," jelasnya.
Ia juga menyinggung politik luar negeri Indonesia yang kini lebih beragam. "Dulu cenderung ASEAN sentris, sekarang makin luas. Jadi ASEAN bukan lagi satu-satunya poros," ujarnya.
Diplomat Kementerian Luar Negeri RI, Eva Kurniati Situmorang, menilai pengaruh China membawa dua sisi. Di satu sisi, ada keuntungan ekonomi.
"China jadi mitra dagang terbesar ASEAN dan Indonesia. Ada BRI (Belt and Road Initiative), ada rencana CAFTA 3.0. Pasar China sangat besar bagi ekspor ASEAN," kata Eva.
Namun, ia mengingatkan ada risiko fragmentasi. "Upaya pengaruh China bisa memecah ASEAN dari dalam. Karena tiap negara bisa punya kepentingan berbeda," katanya.
Menurut Eva, strategi terbaik adalah pragmatis: menjaga hubungan baik dengan China, tapi juga dengan kekuatan besar lain. "Kuncinya memperkuat sentralitas ASEAN. Jangan sampai ASEAN terpecah," tegasnya.
Ia menyebut Indonesia mendukung penuh kepemimpinan Malaysia sebagai ketua ASEAN. Malaysia dinilai konsisten memperkuat perdagangan intra-ASEAN dan memperjuangkan inklusivitas kawasan.
"Respons Indonesia jelas: mempertahankan sentralitas ASEAN, menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, tidak berpihak ke satu kekuatan, dan menekankan multilateralisme," ujarnya.
Profesor Ilmu Politik dari National University of Singapore (NUS), Ian Chong, mengingatkan bahwa China sekarang jauh berbeda dibanding dua dekade lalu.
"China yang kita hadapi lebih kuat, lebih ambisius. Tapi karena faktor geografis, mau tidak mau ASEAN harus berhubungan dengan China," kata Ian yang hadir secara daring.
Salah satu isu paling pelik adalah Laut China Selatan. Meski sudah ada dialog dan pembahasan kode etik, ia pesimistis akan ada hasil cepat.
"Salah satu masalahnya, China tidak menghargai putusan arbitrase internasional 2016. Padahal mereka penandatangan UNCLOS. Ini menyulitkan ASEAN, karena kepastian hukum sangat penting," ujarnya.
Para pakar sepakat, pengaruh China tidak bisa dihindari. Namun ketergantungan yang terlalu besar bisa berbahaya.
"Kalau ASEAN terlalu condong ke Beijing, ruang geraknya akan terbatas. Sulit mengambil sikap tegas dalam isu strategis," kata Johanes Herlijanto.
Sementara Eva menekankan pentingnya keseimbangan. "Kita tidak boleh hanya fokus ke satu kekuatan. ASEAN harus bisa tetap jadi pusat, bukan perpanjangan kepentingan negara lain," katanya.
Broto pun mengingatkan bahwa dinamika internal ASEAN membuat setiap negara harus pandai membaca arah angin. "Keputusan ASEAN itu rumit. Jadi China tidak bisa seenaknya. Justru ini jadi senjata ASEAN," ujarnya.
Kepemimpinan Malaysia di ASEAN tahun ini mendapat sorotan. Negeri Jiran dinilai sukses memediasi konflik Thailand-Kamboja, sekaligus menjaga hubungan baik dengan China dan Amerika Serikat.
Menurut Johanes, contoh Malaysia bisa jadi pelajaran. "Kuncinya keseimbangan. Dekat dengan semua, tidak terseret salah satu pihak. Itu yang harus ditiru," ucapnya.
Eva menambahkan, sikap Malaysia sejalan dengan Indonesia. "Kita sama-sama dorong sentralitas ASEAN. Kita sama-sama ingin kawasan ini stabil, inklusif, dan punya daya tawar," ujarnya.
Para pakar sepakat bahwa ASEAN menghadapi tantangan besar di tengah rivalitas kekuatan global. China dengan pengaruhnya, Amerika Serikat dengan strateginya, hingga isu-isu lain seperti Laut China Selatan, jadi ujian serius.
"Yang paling penting, ASEAN jangan kehilangan suara. Kalau terlalu tergantung pada satu pihak, apalagi China, kita bisa kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri," kata Johanes.
Eva juga menekankan pentingnya solidaritas internal. "Kalau ASEAN terpecah, siapa yang untung? Pasti kekuatan besar di luar kawasan," ujarnya.
Ian menutup dengan catatan hati-hati. "China sekarang lebih besar, lebih kuat. Tapi ASEAN punya nilai: kedekatan, kebersamaan, dan posisi strategis. Itu yang harus dijaga," katanya.
Ketergantungan ASEAN pada China memang tak bisa dihindari. Hubungan ekonomi dan diplomasi yang erat membawa banyak manfaat. Namun, terlalu jauh condong ke Beijing berisiko melemahkan ASEAN sendiri.
Kuncinya ada pada keseimbangan. Menjaga sentralitas ASEAN, merangkul semua kekuatan, dan tetap memprioritaskan kepentingan kawasan. Dengan begitu, ASEAN bisa tetap berdiri sebagai poros penting di tengah dinamika geopolitik global.
(igo/fdl)