Sorotan terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini semakin tajam. Dengan banyaknya kasus keracunan siswa penerima manfaat MBG, masyarakat semakin khawatir anak-anak mereka akan menjadi korban keracunan berikutnya. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sebagaimana dikutip dari Republika menyatakan bahwa saat ini sudah ada lebih dari 8.600 anak yang mengalami keracunan MBG (republika.id, 30/9/2025).
Hal ini tentu tidak bisa kita anggap remeh dan enteng. Bagaimanapun, anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Anak-anak adalah calon-calon pemimpin di masa depan.
Dari anak-anak kita saat ini, beberapa tahun mendatang adalah bonus demografi yang juga terus digaungkan. Maka, sudah sepantasnya jika kita memberikan perhatian kepada mereka.
Akankah anak-anak hanya kembali akan menjadi penonton di negerinya sendiri yang gemah ripah loh jinawi ini, atau kita bertekad untuk mempersiapkan mereka menjadi generasi yang unggul, tangguh, dan punya ketrampilan di bidangnya masing-masing nantinya. Bebas, kita, sebagai generasi pendahulu inilah yang dapat menjadi penentu nasib anak-anak kita di masa depan.
MBG yang (mungkin) Proporsional
Banyaknya kasus keracunan MBG tentu selaiknya mendapat perhatian dari semua pihak. Kita tidak sedang dalam upaya menyalahkan siapa. Namun, evaluasi yang proporsional pada program ini ada baiknya segera dilakukan. Kesalahan sudah jelas terlihat, ketika ada kasus keracunan, minimal ada proses yang tidak higienis dari awal pengadaan bahan baku hingga makanan tersaji di nampan MBG untuk anak-anak.
Begitu banyaknya porsi yang harus disiapkan, ribuan mungkin per SPPG, tentu membutuhkan waktu penyiapan yang panjang, termasuk distribusi ke sekolah dan ke meja anak-anak yang lebih lama dan bisa jadi jaraknya juga jauh. Proses yang panjang ini bisa jadi menghadirkan potensi zat-zat yang mengontaminasi makanan di MBG itu, termasuk munculnya kontaminan dari makanan itu sendiri, yang mungkin ada kalanya dimasak kurang matang, disimpan dengan tidak higienis atau terlalu lama, dan bisa jadi masih banyak faktor-faktor penimbul kontaminan lainnnya.
Untuk dapat mendudukkan perihal MBG ini secara proporsional, maka ada baiknya pula kita mengakui bahwa memang ada sebagian dari proses di dalam program MBG ini yang kurang pas. Pada aspek inilah perlunya evaluasi yang benar.
Setiap dapur MBG tentu seharusnya mengikuti kaidah dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika ditemukan ada pelanggaran, ada misalnya dari dapur tersebut porsi-porsi MBG yang menyebabkan kasus keracunan, maka kenapa tidak dievaluasi, diberhentikan untuk sementara. Sekali lagi, kita tidak dalam upaya mencari kambing hitam. Tetapi ketika memang ditemukan prosedur yang salah, jangan pula kita berdiam diri dan tidak mengevaluasinya.
Meminjam konsep Retrospektif dari teori dan konsep Manajemen Proyek, semua pihak dari hulu hingga ke hilir perlu melakukan perbaikan. Dari upaya retrospektif inilah akan muncul leeson learned, sehingga dapat dilihat, diamati, dan diketahui penyebab masalah dan kenapa, dari mana, oleh apa, dan sebagainya. Sementara pada sisi lain, akan pula didapat lesson learned dari hal-hal yang positif. Artinya, kita mendudukkan MBG secara proporsional, apa sisi yang masih kurang yang perlu segera diperbaiki, apa sisi yang positif yang dapat ditingkatkan atau menjadi contoh pada program lainnya di kemudian hari.
Menyajikan MBG secara Profesional
Berikutnya, MBG juga perlu mendapat perhatian secara profesional dari semua pihak. Para ahli sudah berpendapat. Ahli gizi nasional, dr Tan Shot Yen misalnya, sudah berpendapat di hadapan anggota DPR RI, bahwa banyak menu MBG yang disajikan justru merupakan UPF atau ultra processed food yang tentu saja tidak sehat apalagi bagi anak-anak (cnnindonesia.com, 26/9/2025).
Maka, dengan menilik kembali frase "Bergizi" pada program MBG, tentu ada baiknya menu MBG perlu disajikan secara profesional, yaitu benar-benar melibatkan para ahli gizi dan menyajikan menu yang sehat dan bergizi untuk anak-anak kita. Mungkin akan ada alasan bahwa akan sangat rumit jika harus menghitung satu per satu kebutuhan gizi anak-anak, lalu menyajikannya dalam menu di setiap porsi MBG per masing-masing anak. Tentu tidak harus sedemikian rupa juga, kan?
Melibatkan ahli gizi dengan sebenarnya diharapkan dapat mengurangi potensi kesalahan dalam pemilihan menu MBG. Munculnya menu burger, makanan kemasan, dan jenis-jenis UPF lain bisa jadi akan bisa dihindari. Sekali lagi, sudut pandang ini bukan pada perspektif mencari siapa yang salah. Tetapi kita perlu secara profesional menyajikan menu MBG yang sehat bagi anak-anak kita.
Profesionalisme pada konteks ini juga mungkin akan berkaitan dengan skema dan prosedur MBG dari mulai awal program ini diluncurkan. Sebagaimana tujuan MBG adalah untuk memenuhi gizi anak-anak terutama bagi yang kurang mampu, ada baiknya skemanya ditata kembali, dengan mengutamakan daerah 3T, mungkin pula tidak semua sekolah diberi MBG, pun juga tidak harus semua anak di dalam satu sekolah harus diberikan MBG.
Bukan pada konteks tidak adil jika yang satu dapat dan yang lain tidak, karena bisa jadi ada sekolah-sekolah yang sudah punya program serupa bahkan sebelum MBG ini digaungkan. Pun bisa jadi ada para orang tua yang sudah terbiasa membekali anak-anaknya dengan makan siang yang disiapkan sang ibu dengan sepenuh cinta dan segenap hati. Lalu bisa jadi ada juga sekolah-sekolah yang sudah bekerjasama dengan kantin-kantin mereka untuk menghidupkan UMKM dan "memaksa" kantin-kantin untuk menyediakan menu yang sehat bagi anak-anak di sekolah itu.
Porsi MBG yang (mungkin) Pas
Skema dan jalur distribusi yang panjang, penyiapan menu dan porsi-porsi dan nampan MBG mungkin menjadi tantangan yang relatif berat bagi dapur-dapur MBG. Para SPPG mungkin dapat mengubah tata kelola, skema, dan jalur distribusi tanpa mengurangi kualitas MBG secara keseluruhan. Misalkan saja, dapur-dapur MBG dikelola oleh sekolah dengan melibatkan kantin-kantin sekolah.
Dengan cara ini bisa saja sekaligus menyasar program pemberdayaan UMKM, yang juga masih menjadi perhatian pemerintah. Dengan "mengecilkan" skala dapur MBG, maka porsi makanan yang disiapkan akan menjadi lebih sedikit, lebih teratur, dan apalagi jika lokasinya di sekolah itu sendiri maka jalur distribusi akan lebih singkat dan cepat. Dengan demikian, potensi kontaminan muncul dalam proses memasak, menyajikan, dan mendistribusikan bisa jauh lebih bisa diminimalisir.
Atau, bisa juga dapur-dapur MBG dibuat di tiap kelurahan atau kantor desa. Dengan memanfaatkan asset kelurahan dan desa, maka sama dengan yang di atas, jalur distribusi dan porsi yang disiapkan juga menjadi lebih sedikit, lebih cepat, lebih dekat, lebih singkat.
Dengan kedua cara ini pula, dapur-dapur MBG dapat sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi para warga, baik sebagai juru masak, yang menyiapkan dan/atau menyediakan bahan baku, atau pekerjaan-pekerjaan terkait lainnya. Pun, bahan baku juga dapat pula diambil dari para petani lokal. Atau jika belum ada petaninya, jika ada lahan desa yang menganggur misalnya, itu bisa diolah menjadi kebun sayur-mayur, cabai, tomat, dan ragam lainnya. Intinya, pemberdayaan warga dan lahan lokal mungkin dapat menjadi salah satu upaya dan alternatif solusi dari tata kelola MBG ini.
Maka, trilyunan uang negara yang dikucurkan setiap hari, setiap tahunnya nanti dalam program ini sudah selaiknya harus tepat sasaran, tepat penyaluran, tepat skema. Semoga.
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan kantor tempat penulis bekerja.
Lihat juga Video: Mahfud Md Desak Perbaikan Tata Kelola MBG
(hns/hns)