Kelas Menengah RI Kian Tercekik: Gaji Habis, Utang Menumpuk

Kelas Menengah RI Kian Tercekik: Gaji Habis, Utang Menumpuk

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 07 Okt 2025 05:58 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia tahun ini tahun ini sebanyak 46,85 juta jiwa. Angka itu turun sejak 2019yang berjumlah 57,33 juta jiwa.
Ilustrasi/Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Kelompok kelas menengah sering terjebak di posisi serba salah. Kenaikan harga barang dan jasa imbas, cicilan yang terus berjalan, belum lagi kebutuhan mendadak yang kerap datang tanpa aba‑aba menjadi beban keuangan tersendiri.

Parahnya lagi, banyak di antara mereka yang bergaji pas-pasan, namun dianggap 'tak cukup susah' untuk mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Alhasil tak sedikit masyarakat kelas menengah yang terpaksa makan tabungan atau menarik pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan gejala banyaknya kelas menengah yang semakin terimpit utang dan cicilan ini terlihat dari peningkatan jumlah pinjaman online (pinjol) hingga pengeluaran konsumsi masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sisi pinjaman, menurut Tauhid saat ini jumlah masyarakat mengakses pinjaman online makin tinggi, begitu juga dengan total utang yang mereka miliki. Sementara untuk pertumbuhan kredit UMKM itu makin turun.

Ia menjelaskan kondisi ini menunjukkan bagaimana kelas menengah semakin hari semakin banyak membutuhkan pembiayaan hanya untuk konsumsi sehari-hari. Artinya uang habis hanya untuk makan dan bertahan hidup, tidak bisa digunakan untuk mengembangkan usaha dan lainnya.

ADVERTISEMENT

"Kredit UMKM trennya itu berkebalikan dengan yang pinjaman online. Walaupun (non-performing loan/kredit macet pinjol) NPL-nya katakanlah di bawah 3%, tapi kan trennya makin tinggi. Menunjukkan bahwa dari sisi itu kelas menengah makin sulit," kata Tauhid kepada detikcom, Senin kemarin.

Kedua, data LPS menunjukkan bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat di bawah Rp 100 juta dari Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat hanya sebesar 26,3%. Pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan kondisi Juli 2021 hingga Juli 2024 yang hanya bertambah 11,9%.

Pertumbuhan tabungan masyarakat dengan saldo Rp 100 juta hingga Rp 200 juta juga melambat. Pada periode Juli 2016-Juli 2019 tercatat tumbuh 29,4%. Sementara Juli 2021 hingga Juli 2024 hanya tumbuh 13,3%.

"Simpanan di bawah 100 juta, kalau kita lihat data LPS, makin lama makin turun kan, nggak naik-naik. Nah itu menunjukkan kemampuan daya tahan mereka untuk menghadapi goncangan atau kenaikan biaya hidup semakin turun," paparnya.

Terakhir, gejala banyak kelas menengah makin terimpit utang juga terlihat dari data konsumsi masyarakat untuk makanan yang semakin tinggi. Menurutnya kenaikan ini menunjukkan bagaimana masyarakat hanya bisa fokus untuk membeli makan sebagai kebutuhan pokok saja.

"Kalau konsumsi makanan semakin tinggi, berarti pengeluaran mereka untuk non-makanan kan semakin berkurang. Artinya mereka nggak ada duit yang buat non-makanan. Padahal konsumsi non-makanan semakin tinggi menunjukkan bahwa kelas menengah semakin baik," jelas Tauhid.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, yang mana menurutnya gejala banyaknya kelas menengah yang semakin terimpit utang dan cicilan ini terlihat dari pertumbuhan industri pinjol.

Tak hanya pinjol, menurut Bhima kenaikan jumlah masyarakat yang menggadaikan barangnya turut menjadi tanda bagaimana gaji yang diterima kelas menengah tak lagi cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Alhasil jika tidak berutang, mereka memilih untuk menjual atau menggadaikan aset mereka.

"Data resmi OJK mengungkap kenaikan outstanding pinjol dari 2020-2025 tumbuh 651%. Sementara masyarakat yang menggadaikan barangnya juga naik 66% dalam 5 tahun terakhir. Kalau tidak ke pegadaian ya ke pinjol, se-desperate itu kelas menengah," terangnya.

(igo/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads