Setahun Prabowo & Gibran, Daya Beli hingga Lapangan Kerja Jadi Sorotan

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 21 Okt 2025 09:30 WIB
Foto: ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Jakarta -

Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghadapi berbagai tantangan, khususnya di bidang ekonomi. Mulai dari gejolak geopolitik internasional, ketidakpastian perekonomian global, hingga perang dagang dan kondisi perekonomian lokal menjadi tantangan tersendiri.

Akibatnya target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2% menjadi semakin sulit untuk tercapai. Bahkan sejumlah lambaga internasional telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia dikisaran 4,8-4,9%.

"Pemerintah telah mengeluarkan berbagai stimulus ekonomi untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 untuk mencapai target yang ditetapkan seperti perluasan BLT, program magang fresh graduate, program padat karya, dan lain-lain," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, dalam keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).

Oleh karena itu untuk memastikan target pertumbuhan ekonomi ke depan benar-benar tercapai sesuai target pemerintah, menurutnya terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Prabowo dan Gibran.

Pertama ada terkait daya beli masyarakat yang perlu ditingkatkan kembali. Sebab sekitar 57% pertumbuhan ekonomi nasional ditopang konsumsi rumah tangga, yang dalam hal ini pemerintah dirasa perlu untuk menjaga stabilitas harga pokok pangan dan memastikan stok berbagai bahan pokok ini pada posisi yang mampu men-supply kebutuhan pasar.

Kemudian menunda penyesuaian harga BBM, listrik dan gas sampai dengan daya beli masyarakat normal dinilai juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat seiring dengan perbaikan ekonomi nasional.

"Faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli agar dapat diperbaiki pemerintah seperti Inflasi dan fluktuasi harga barang, Pemutusan Hubungan Kerja, pendapatan riil yang tidak meningkat, minimnya lapangan kerja, stabilitas nilai tukar rupiah, pajak dan ketersediaan kredit untuk dunia usaha. Sebagian telah direspon melalui paket stimulus ekonomi namun masih perlu stimulus yang lain," paparnya.

Kemudian kedua, Sarman juga menyoroti tingkat pengangguran dalam negeri yang sampai saat ini mencapai 7% dari total angkatan kerja nasional sebanyak 140 juta jiwa. Dengan demikian terdapat sekitar 10 juta jiwa yang tidak bekerja sama sekali.

"Sekitar 3,5 juta jiwa angkatan kerja baru lulusan SMK, SMA, Diploma dan Sarjana. Jika kita tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan maka angkatan kerja akan semakin menumpuk dan ini akan menjadi beban sosial," terang Sarman.

Menurutnya pemerintah harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan menggerakkan sektor swasta dengan berbagai kebijakan yang pro bisnis dan pro dunia usaha, stimulus dan kemudahan mendapatkan kredit modal kerja dan kredit investasi.

"Program magang untuk mahasiswa fresh graduate dan padat karya menjadi salah satu penyediaan lapangan pekerjaan dalam jangka pendek. Paket stimulus ekonomi kuartal IV-2025 yang menambah kuota magang mencapai 100 ribu hingga akhir tahun patut kita apresiasi karena para mahasiswa akan mendapatkan uang saku setara UMP yang bersumber dari APBN," katanya.

Diharapkan program magang ini dapat berlanjut tahun depan, termasuk program padat karya perlu diperluas bukan hanya di Kementerian PU dan Perhubungan juga di Kementerian lainnya. Dengan pendapatan masyarakat yang meningkat akan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Kemudian ketiga, di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih tertekan maka investasi menjadi andalan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab kontribusi investasi mencapai 24-45% terhadap PDB nasional.

"Pemerintah menargetkan investasi sebesar Rp 13.032 triliun pada periode 2025-2029 sebagai upaya mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2029," jelas Sarman.

Diharapkan ke depan investasi yang masuk adalah yang banyak menyediakan lapangan pekerjaan seperti manufacturing atau padat karya, pertambangan, infrastruktur dan pariwisata sehingga angkatan kerja dapat terserap.

Keempat, ia juta menyoroti hasil evaluasi Kementerian Keuangan yang menyatakan penyerapan belanja Pemerintah Pusat hingga akhir September 2025 baru mencapai Rp 1.589,9 triliun atau 58,7% dari total anggaran Rp 2.663,4. Artinya dalam sisa waktu 3 bulan harus membelanjakan sisa anggaran sebesar Rp 1.292,7 tiliun.

Sementara realisasi penyerapan APBD provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia per 22 Agustus 2025 baru mencapai Rp 726,07 triliun, atau setara 54,44% dari total alokasi pendapatan dalam APBD seluruh daerah senilai Rp 1.353,08 triliun.

"Rendahnya penyerapan ini tentu menurunkan produktivitas perekonomian karena belanja pemerintah juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan menjadi stimulus menggerakkan berbagai sektor usaha swasta nasional," paparnya.

"Lambatnya belanja Pemerintah membuat dana tidak segera beredar di masyarakat sehingga tidak menciptakan multiplier effect yang optimal. Ini menjadi evaluasi yang harus dilakukan oleh Presiden agar pada tahun anggaran 2026 dan seterusnya penyerapan belanja Pemerintah Pusat dan Daerah dapat tepat waktu dan tepat sasaran secara periodik dari mulai awal tahun,pertengahan hingga akhir tahun," sambung Sarman.

Langsung klik halaman berikutnya




(igo/hns)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork