Produk impor tanpa merek dapat dengan mudah melenggang masuk dan beredar di marketplace hingga mal. Sebagian besar produk tersebut datang dari China, Vietnam, India, hingga Malaysia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana mengatakan China dan Vietnam dikenal sebagai produsen tekstil dan garmen terbesar di dunia. Ketika menghadapi hambatan dagang dengan Amerika Serikat, negara-negara tersebut menghadapi stok berlebih (overstock). Kemudian menyalurkannya ke pasar-pasar dengan pengawasan longgar, termasuk Indonesia.
Menurut Danang, barang-barang itu tidak selalu masuk langsung dari negara asal. Sebagian besar dikirim melalui negara transhipment seperti Kuala Lumpur dan Singapura agar lolos pengawasan bea cukai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang kebanyakan dari China ya, China atau Vietnam ya. Mereka juga melalui negara transhipment yang lain. Negara transhipment yang lain misalnya Kuala Lumpur atau Singapura melalui pelabuhan-pelabuhan itu," ujar Danang kepada detikcom, Rabu (29/10/2025).
Danang menilai fenomena ini bukan hal baru. Ia menyebut praktik impor ilegal serta penurunan nilai barang agar pajak murah (undervalue) sudah berlangsung lama, bahkan sejak masa pandemi COVID-19.
Saat pandemi banyak produk tekstil yang semula ditujukan untuk ekspor ke negara-negara besar justru berakhir di Indonesia. Barang-barang itu kemudian diekspor ke Indonesia, sebagian melalui jalur ilegal atau skema impor borongan. Produk impor pakaian jadi yang masuk ke Indonesia tanpa merek, seperti kaos dan kemeja.
"Ya, sebenarnya keluhan tentang impor baju baru tanpa merek, tanpa label berbahasa Indonesia itu kan udah praktik-praktik yang lama ya. Kalau praktik ini sebenarnya sudah kita keluhkan ya, tahun 2020 zaman COVID-19 itu sudah sangat merebak ya," kata Danang.
Danang menjelaskan modus para importir memang mengimpor produk 'blank' atau polos tanpa merek dan label. Setelah masuk ke Indonesia, produk itu baru ditempeli merek lokal untuk dijual kembali dengan harga jauh lebih murah.
Ia menyebut barang-barang tersebut telah beredar luas di pasar domestik, mulai dari e-commerce hingga mal. Praktik yang menurutnya telah berlangsung hingga lima tahun ini menimbulkan persaingan tidak sehat.
"Tapi kita tahu bahwa barang-barang tersebut setelah ditempeli merek di Indonesia sudah beredar banyak di mal-mal kita, didagangkan secara e-commerce, sehingga persaingan menjadi tidak sehat, barang-barang itu masuk dengan harga yang sangat murah," jelasnya.
Senada, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menambahkan produk impor tekstil yang masuk tanpa merek salah satunya kaos polos. Kaos polos masuk ke dalam negeri lalu diberi label dan desain.
"Untuk kaos polos impor, disini tinggal di print dan diberi label. Ini masuk ya ilegal, karena semua barang yg diperjualbelikan di wilayah pabean Indonesia harus berlabel bahasa Indonesia," ujarnya kepada detikcom.
Redma menerangkan barang-barang non-branded ini umumnya masuk untuk menghindari bea masuk serta pengawasan yang ketat. Ia menyebut China dan India menjadi negara pengimpor produk tekstil tanpa merek.
"Kalau dari India kebanyakan pakaian. Kalau dari China selain pakaian, ada tas, sepatu, jaket, sprei," tambah ia.
Makin Menekan Industri Tekstil Lokal
Redma memperkirakan praktik impor ilegal tersebut makin marak setelah kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke sejumlah mitra dagang, termasuk China. Lonjakan terjadi karena China memanfaatkan Indonesia sebagai jalur alternatif.
untuk menghindari tarif tinggi tersebut, para importir banyak menggunakan modus transhipment untuk mendapatkan Surat Keterangan Asal (SKA) Indonesia agar barang asal China bisa diklaim sebagai buatan Indonesia. Langkah ini bagi AS dinilai ilegal.
Ia mewanti-wanti agar pemerintah segera menindak tegas praktik tersebut. Sebab, apabila AS menemukan praktik ini berlangsung di Indonesia, tarif impor yang dikenakan AS ke Indonesia bisa lebih tinggi.
Redma mengakui praktik tersebut sangat merugikan produsen tekstil lokal. Sebab, barang-barang impor itu masuk tanpa bayar pajak serta bea masuk sehingga harganya lebih murah.
"Tentu sangat merugikan, bukan masalah tanpa labelnya, tapi cara masuknya yg ilegal, tidak bayar bea masuk, tidak bayar pajak dan harganya dumping, jadi produsen lokal tidak bisa bersaing," terang Redma.
Saksikan Live DetikPagi :











































