Fenomena banjir produk asal China di pasar Indonesia menjadi sorotan. Produk-produk dari Negeri Tirai Bambu tersebut masuk ke tanah air baik melalui jalur resmi maupun tidak resmi, dan kini dinilai telah mendominasi pasar domestik.
Menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha LPEM FEB UI, Mohammad Dian Revindo, fenomena ini bukanlah kejadian acak. Ia menilai strategi China sudah dirancang secara matang dan sistematis dengan dukungan penuh dari pemerintahnya.
"Pelemahan mata uang yuan atau renminbi (RMB) menjadi salah satu strategi utama China untuk menjaga daya saing produk ekspornya," ujar Revindo dalam seminar bertajuk "Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia" di Universitas Paramadina, Jakarta, ditulis Selasa (4/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan menurunkan nilai RMB terhadap dolar AS, menurunkan nilai RMB terhadap dolar AS, lanjut Revindo, harga produk China menjadi jauh lebih murah di pasar global, termasuk Indonesia. Strategi ini diperkuat dengan kebijakan pemerintah China membeli surat utang Amerika Serikat agar dolar tetap kuat. "Dengan cara itu, RMB tetap lemah dan produk China menjadi lebih kompetitif dibandingkan produk negara lain," jelasnya.
Selain faktor nilai tukar, Revindo juga menyoroti lemahnya kekuatan serikat buruh di China, yang memungkinkan pemerintah menekan biaya tenaga kerja. Kondisi ini menjadikan biaya produksi di China sangat efisien sehingga harga jual produk bisa ditekan rendah di pasar ekspor.
"China berhasil menjaga efisiensi biaya produksi tanpa banyak tekanan dari dalam negeri, berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya," katanya.
Revindo menambahkan, strategi penguasaan pasar juga dilakukan melalui kebijakan Belt and Road Initiative (BRI), di mana China menawarkan pembiayaan infrastruktur kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Melalui skema ini, China tidak hanya membangun pengaruh ekonomi, tetapi juga menciptakan jalur logistik ekspor yang efisien untuk menyalurkan kelebihan produksi industrinya.
"Proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah bagian dari strategi BRI yang memperkuat posisi logistik dan perdagangan China di Indonesia," ujarnya.
Selain kebijakan ekonomi makro dan investasi infrastruktur, praktik dumping juga menjadi salah satu taktik penting China. Revindo mengungkapkan bahwa China menjual sejumlah produk ke luar negeri dengan harga jauh lebih murah dibandingkan harga di dalam negerinya.
"Dumping dilakukan untuk produk garmen, bahan kimia seperti frit dan lisin, hingga kaca. Ini membuat produk China lebih murah dan lebih diminati, tetapi menekan industri dalam negeri Indonesia," kata Revindo.
Akibatnya, banyak industri nasional mengalami tekanan berat. Sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) mulai kesulitan bersaing karena kalah dari sisi harga. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Revindo memperingatkan akan ada risiko meningkatnya pengangguran dan melemahnya daya saing ekonomi nasional.
"Ketergantungan terhadap impor, terutama dari satu negara, adalah sinyal bahaya bagi kemandirian ekonomi Indonesia," tegasnya.
Untuk menghadapi situasi ini, Revindo menyarankan pemerintah Indonesia memperkuat sektor industri domestik melalui kebijakan yang konsisten, berpihak pada produksi lokal, dan memperhatikan kualitas sumber daya manusia (SDM). Ia juga mendorong peningkatan riset dan inovasi teknologi agar produk dalam negeri mampu bersaing di pasar global.
"Indonesia harus belajar dari kedisiplinan dan konsistensi strategi Tiongkok, namun tetap menjaga arah kebijakan nasionalnya sendiri," ujarnya menutup.
(fdl/fdl)










































