Kelas menengah Indonesia kini hidup di tengah paradoks; punya daya beli dan aspirasi tinggi, namun juga dibayangi ketidakpastian. Temuan terbaru Hakuhodo International Indonesia melalui Sei-Katsu-Sha Lab 2025 memotret bagaimana segmen ini bertransformasi menjadi lebih realistis, tangguh, dan mencari makna hidup yang lebih autentik.
Forum riset bertajuk 'Navigating the In-Between: Living as Indonesian Middle Class' ini menggambarkan bagaimana kelas menengah Indonesia berevolusi dan beradaptasi dalam tekanan ekonomi, sosial, dan emosional yang kompleks.
Dalam sambutannya, Group CEO Hakuhodo International Indonesia, Devi Atamimi menegaskan manusia tak bisa dipahami hanya lewat data. Menurutnya, meski AI (Artificial Intelligence) membantu banyak hal, teknologi itu tak mampu menangkap emosi dan kehidupan di balik setiap strategi. Maka dari itu, studi ini bukan bertujuan mencari solusi besar, melainkan memahami realitas sehari-hari masyarakat.
"Kami sadar kami bukan lembaga ekonomi, kami tidak bisa menyelesaikan masalah cicilan hidup orang, tapi setidaknya kami bisa membuat hidup mereka terasa sedikit lebih ringan dan lebih indah," ujar Devi di Soehanna Hall, The Energy Building, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Riset yang berlangsung setahun ini menelusuri kehidupan kelas menengah di delapan kota melalui 20 kunjungan rumah dan 600 responden. Devi menjelaskan, studi tersebut berawal dari pertanyaan apakah kelas menengah Indonesia masih optimis atau mulai pasrah menghadapi ketidakpastian ekonomi.
"Pertanyaan itu penting, apakah mereka masih punya harapan besar ke depan, atau mereka hidup dari hari ke hari dalam mode bertahan hidup?" tanyanya.
Pertanyaan itu dijawab lewat tiga dimensi utama riset; value on life, value on success, dan value on consumption. Dalam sesi pembahasan yang dipandu oleh sejumlah pembicara dari tim riset memaparkan hasil temuan yang menggambarkan pergeseran besar dalam cara kelas menengah melihat hidup, sukses, dan konsumsi.
Menurut Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia, Rian Prabana mengatakan nilai hidup kelas menengah kini banyak berubah dibanding sepuluh tahun lalu. Jika dulu mereka berusaha membuktikan diri, kini fokusnya bergeser pada pengembangan diri dan keseimbangan hidup dari sekadar 'look good' menjadi 'feel good'.
Ia mencontohkan banyak orang kini menemukan ketenangan lewat hal-hal sederhana; berbicara dengan orang terdekat, berolahraga, berdoa, atau bahkan tidur cukup.
"Mereka mulai membangun micro utopia dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal kecil seperti playlist, hewan peliharaan, atau kata motivasi di dinding kamar jadi cara mereka menjaga kewarasan," tambah Rian.
Salah satu pembicara lain menambahkan dari survei ini muncul fenomena My Scar My Strength, di mana luka atau kegagalan justru menjadi sumber kekuatan baru. Banyak responden yang memaknai masa sulit sebagai fase pendewasaan.
"Mental mereka kuat. Mereka mungkin jatuh, tapi tahu cara bangkit. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukan soal hidup tanpa luka, tapi soal bisa tetap berjalan dengan luka itu," ungkap salah satu pembicara.
Perubahan pandangan itu turut menggeser makna sukses. Kini, kesuksesan bagi kelas menengah tak lagi soal status atau kepemilikan materi, melainkan kemampuan hidup mandiri, memperbaiki diri, dan tetap bermartabat di tengah tekanan.
Rian menyebut fenomena ini sebagai lahirnya The Grown-Up Middle, kelompok kelas menengah yang lebih dewasa secara emosional.
"Mereka tidak lagi didefinisikan oleh gaya hidup atau status sosial, tapi oleh caranya menjaga harga diri dan keseimbangan. Menjadi optimis dan waras itu kini jauh lebih penting dibanding terlihat sukses," ucapnya.
Dalam hal konsumsi, riset menunjukkan belanja kini dipandang sebagai bentuk perawatan diri dan pelepas stres. Pembelian kecil seperti kopi, makanan favorit, atau waktu untuk diri sendiri menjadi simbol optimisme. Orang kini membeli bukan untuk pamer, melainkan sebagai cara menghargai diri sendiri.
"Kalau dulu orang beli sesuatu untuk dipamerkan, sekarang mereka beli untuk diri sendiri. Kami bahkan menemukan responden yang memakai rokok mahal bukan saat nongkrong, tapi saat sendiri, sebagai bentuk penghargaan pada diri sendiri," ungkap salah satu pembicara.
Temuan ini juga menunjukkan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. Devi menilai perubahan itu sebagai dampak pengalaman pandemi, yang membuat banyak orang mulai memperhatikan bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga kondisi batin mereka.
Menutup sesi diskusi, Devi menyebut transformasi ini sebagai bukti bahwa kelas menengah Indonesia tumbuh dewasa.
"Dulu mereka mengejar naik kelas, sekarang mereka belajar bertahan dengan martabat. Itu bentuk kematangan baru, dan mungkin juga arah baru bagi masyarakat kita," tutup Devi.
Sama halnya dengan Rian menutup dengan menegaskan bahwa The Grown-Up Middle bukan soal siapa yang paling kaya, melainkan siapa yang mampu berdamai dengan kenyataan tanpa kehilangan semangat untuk terus berkembang.
Secara keseluruhan, riset ini memperlihatkan kelas menengah Indonesia sedang mengalami pendewasaan sosial dan emosional. Mereka tak lagi sekadar mengejar simbol status, tetapi mulai mencari makna hidup yang lebih seimbang dan realistis.
Di tengah tekanan ekonomi dan perubahan nilai, kelompok ini berupaya menyeimbangkan stabilitas finansial dengan ketenangan batin, serta menjaga harmoni antara aspirasi modern dan akar budaya mereka.
Paradoks inilah yang menjadi wajah kelas menengah Indonesia 2025 yaitu kuat tapi rentan, sederhana tapi penuh makna. Di balik konsumsi dan rutinitas sehari-hari, ada dorongan untuk tetap bertahan dengan harga diri dan optimisme.
Bagi Hakuhodo, pemahaman terhadap dinamika ini bukan hanya penting bagi dunia pemasaran, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami arah baru cara hidup masyarakat urban Indonesia hari ini.
Simak Video "Video: CISDI Ungkap Alasan Kesehatan Mental Masih Disepelekan"
(akn/ega)