Ekonomi Konstitusi: Reforma Agraria untuk Pertumbuhan 8%

Kolom

Ekonomi Konstitusi: Reforma Agraria untuk Pertumbuhan 8%

Gede Sandra - detikFinance
Rabu, 19 Nov 2025 07:45 WIB
Ilustrasi Sertifikat Tanah
Ilustrasi Sertifikat Tanah/Foto: Pinterest
Jakarta -

Beberapa minggu lalu (5/11), Presiden Prabowo Subianto memerintahkan untuk dilakukan pembagian tanah (land reform) dan alat produksi bagi petani miskin dari kelompok pendapatan desil 1 dan desil 2 (sangat miskin dan miskin). Menko yang jadi juru bicara pemerintah untuk program ini mengatakan bahwa program Reforma Agraria ini mencontoh keberhasilan di Tiongkok dan Vietnam.

Kebijakan ini muncul setelah sebulan sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat membuat Pansus Penyelesaian Konflik Agraria sejak bulan lalu. Kesan kuat yang muncul adalah pemerintah dan parlemen di era Prabowo memiliki niat baik untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Konstitusi, untuk menciptakan keadilan kepenguasaan bumi, air, dan segala kekayaan yang dikandungnya (agraria) demi kemakmuran kehidupan rakyat, sehingga dalam hal ini Ekonomi Konstitusi bisa juga dimaknai sebagai pelaksanaan Reforma Agraria dengan tujuan memacu pertumbuhan ekonomi 8%.

Di Indonesia sendiri, semenjak UU Pokok Agraria diundangkan pada tahun 1960, perjalanan program Reforma Agraria seperti berjalan di tempat. Bahkan hingga di masa kini, pelaksanaan program Reforma Agraria selama 10 tahun Pemerintahan Jokowi menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dinilai gagal mencapai target dan tidak berhasil menyelesaikan konflik agraria structural.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini terjadi karena pemerintahan Jokowi lebih fokus pada legalisasi aset (sertifikasi) ketimbang redistribusi tanah, lambatnya penyelesaian konflik, dan kebijakan yang dinilai lebih memihak pengusaha besar. Selain itu KPA menyoroti masalah seperti minimnya redistribusi tanah di kawasan hutan, tidak adanya reforma agraria di wilayah pesisir dan masyarakat adat, serta masalah kriminalisasi terhadap petani.

Jadi jangankan berpikir untuk menjadikan Reforma Agraria sebagai motor pertumbuhan ekonomi, pemerintahan sebelum Prabowo masih berkutat pada penyelesaian konflik lahan. Mungkin akan ada yang mempertanyakan, apa hubungannya Reforma Agraria dengan pertumbuhan ekonomi, mari sedikit kita ulas.

ADVERTISEMENT

Secara umum, Reforma Agraria telah lama dianggap oleh para ilmuwan sosial sebagai kebijakan sentral di balik keajaiban ekonomi Asia Timur. Negara-negara utama di Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok Daratan, semuanya menjalani Reforma Agraria sebelum terjadi lonjakan pertumbuhan mereka (Kim dan Wang, 2025).

Faktor-faktor yang membuat Reforma Agraria Menunjang Pertumbuhan Ekonomi:

1. Peningkatan Produktivitas Pertanian dan Efisiensi Lahan

Reforma Agraria yang berhasil dapat secara langsung mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan hasil dan efisiensi di sektor pertanian di dalam:

- Insentif Kepemilikan dan Investasi Jangka Panjang: Pemberian hak atas tanah kepada petani penggarap meningkatkan produktivitas pertanian dengan meningkatkan kekuatan tawar penyewa dan mengurangi ketidakpastian seputar investasi (Kim dan Wang, 2025). Di Jepang, reformasi agraria yang dilakukan secara virtual melalui ekspropriasi karena inflasi parah, mempercepat investasi jangka panjang di bidang pertanian (Ledesma, 2019).

- Di Taiwan, pada tingkat makro, reforma agrarian kelihatannya telah menciptakan surplus pertanian yang dapat diekspor pada tahun 1950-an, menghasilkan devisa yang berharga. Secara politik, reforma agraria menciptakan distribusi kekayaan yang relatif egaliter, yang kelihatannya telah mendorong adopsi kebijakan pembangunan pro-pertumbuhan (Kim dan Wang, 2025).

2. Transformasi Struktural dan Mobilisasi Modal

Faktor berikutnya adalah bagaimana reforma agraria memfasilitasi pergeseran struktural tenaga kerja dan modal ke sektor non-pertanian:

- Pengalihan Tenaga Kerja ke Sektor Industri: Reforma agraria dapat mendorong pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke sektor lain, yang merupakan bagian penting dari pertumbuhan ekonomi (Kim dan Wang, 2025)

- Konversi Kekayaan ke Aset Industri: Di Taiwan, kompensasi kepada tuan tanah yang diekspropriasi dibayar sebagian dalam bentuk saham perusahaan industri milik negara. Mekanisme ini berfungsi untuk mengubah investasi yang terikat pada tanah menjadi aset industri dan meletakkan dasar bagi industrialisasi (Stebek, 2013).

- Menciptakan Surplus Ekspor: Peningkatan hasil pertanian yang didorong oleh reformasi agraria membantu menciptakan surplus pertanian yang dapat diekspor, menghasilkan devisa yang berharga untuk membayar barang modal (Kim dan Wang, 2025)

3. Prasyarat Politik dan Institusional

Keberhasilan reforma agraria sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kondisi politik dan dukungan kelembagaan:

- Keadilan Sosial dan Egalitarianisme: Reforma agraria menciptakan distribusi kekayaan yang relatif egaliter (Kim dan Wang, 2025). Distribusi pendapatan dan kekayaan yang relatif setara ini dianggap sebagai faktor pendukung dalam keberhasilan ekonomi Korea dan Taiwan. Redistribusi yang berhasil di Korea Selatan menyamakan pendapatan dan aset pedesaan dan menghilangkan lahan sebagai aset untuk spekulasi (Stebek, 2013).

- Pemerintahan Otonom dan Kemauan Politik: Reforma agraria yang efektif sering kali dilaksanakan oleh elite politik yang dominan atau terpisah dari kelas tuan tanah (misalnya Kuomintang di Taiwan yang berasal dari daratan, atau pasukan pendudukan AS di Jepang dan Korea Selatan) (Ledesma, 2019). Hal ini memberikan fleksibilitas politik yang diperlukan untuk mengatasi perlawanan tuan tanah, yang merupakan kendala utama reformasi parsial di negara lain (Ledesma, 2019)

- Integrasi dengan layanan Pendukung: Reforma agraria harus menjadi bagian dari perencanaan ekonomi nasional yang terintegrasi (Ledesma, 2019). Meskipun perubahan hak milik lahan itu penting, Taiwan dan Jepang berhasil karena didukung oleh perbaikan teknis dan peningkatan investasi (seperti penggunaan pupuk dan varietas unggul) (Kim dan Wang, 2025), serta jaringan layanan pendukung (kredit, pemasaran, dan layanan
penyuluhan) (Ledesma, 1980).

- Modal manusia: Keberhasilan Korea dan Taiwan juga didukung oleh tenaga kerja yang terdidik yang sudah tersedia (modal manusia) relatif terhadap stok modal fisik mereka (Stebek, 2013).

Meskipun juga merupakan landasan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi tinggi, reforma agraria di Tiongkok dibedakan oleh sifatnya yang revolusioner dan institusional, di mana redistribusi lahan hanyalah pendahuluan yang cepat menuju kolektivisasi total. Reformasi agraria dilaksanakan melalui mobilisasi politik kader dan petani, serta meletakkan dasar bagi sistem ekonomi yang berbeda-yaitu, sosialisme pasar. Selain itu reforma agrarian di sini bersifat sosio-politik revolusioner, di mana redistribusi tanah bukanlah tujuan akhir, melainkan tahap transisional yang diperlukan untuk industrialisasi (Ledesma, 2019).

Reforma Agraria yang terjadi di Tiongkok ini kemungkinan besar, mempertimbangkan kehomogenan sistem politiknya, tidak akan jauh berbeda dari yang terjadi di Vietnam. Program Reforma Agraria di Indonesia bila dilakukan dengan belajar dari keberhasilan-keberhasilan di negara lain, selain bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan petani (meningkatkan daya beli/sisi demand di pedesaan), juga akan menyediakan lahan-lahan untuk industrialisasi/hilirisasi, serta akan menyediakan lahan yang dibutuhkan untuk program 3 juta rumah.

Jadi selain petani, kelas pekerja dan generasi muda adalah yang sangat diuntungkan dari program-program penciptaan lapangan kerja yang ditunjang oleh Reforma Agraria. Dan akan sangat ideal bila skema industrialisasi dan program 3 juta rumah yang dibangun di atas program Reforma Agraria ini dikerjakan oleh model usaha yang lebih demokratis (seperti koperasi pekerja atau perusahaan yang sahamnya dimiliki pekerja).

Namun apa manfaatnya bagi para kalangan pengusaha besar, terutama bagi mereka yang konsesinya dijadikan objek program ini? Manfaat dalam jangka pendek tentu dapat diberikan semacam kompensasi/konsesi lain seperti saham kepemilikan di industri atau usaha yang tercipta, sementara manfaat jangka menengah dan jangka
panjangnya adalah ikut menikmati pertumbuhan ekonomi 8% di masa depan.


Gede Sandra
Peneliti lembaga think tank Lingkar Studi Perjuangan

(ara/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads